Sabtu, 26 Desember 2009

Ekspansi Eropa Dan Perbudakan Dunia

Konsep feodalisme sejak dahulu diyakini sebagai paham fundamental dari imperium, sistem pemerintahan tertua yang telah ada di berbagai belahan dunia. Disebabkan oleh modus eksistensi manusia yaitu dominasi, kerajaan-kerajaan ataupun dinasti-dinasti terdahulu mendorong untuk melakukan penaklukan terhadap daerah-daerah baru yang dalam paper ini kami sebut proses tersebut ekspansi yang di dalamnya terdapat kolonialisasi.

Semangat imperialisme mendorong Eropa -dalam hal ini dipelopori Spanyol- untuk melakukan ekspansi ke belahan dunia lain untuk menambah koloni-koloni baru. Tidak saja benua Amerika, namun juga seluruh belahan dunia lain menjadi koloni-koloni baru bagi kerajaan-kerajaan Eropa pada waktu itu.

Kolonialisasi berasal dari kata koloni yang berarti tempat tinggal di negara baru yang implementasinya pada waktu itu adalah membuat kantong-katong kecil di tepi pantai sebagai tempat tinggal dan utamanya sebagai tahap awal perluasan daerah imperium atau kerajaan.1

Menurut Lenin tingkat imperialisme kolonial adalah negara induk (centre) mengatur dan memonopoli produksi komoditi ekspor dari kawasan pinggiran (peripheri) yakni, kawasan koloni.2

Mencari emas untuk kekayaan guna memperkukuh kejayaan imperium dan menyebarluaskan dogma-dogma gereja menjadi suatu dasar dan semangat ekspansi-ekspansi yang dilakukan oleh bangsa Eropa pada waktu itu yang pada akhirnya di Eropa terjadi proses Merkantilisme.3 Kolonialisasi dapat dibagi menjadi dua tahap besar dalam garis sejarahnya, yaitu pertama adalah pelayaran dan senjata serta yang kedua adalah perbudakan.4

Periode I. Pelayaran, Perdagangan dan Masyarakat Kota

Periode pertama adalah ekspansi malalui pelayaran yang dilakukan bangsa-bangsa Eropa ke seluruh belahan dunia yang dipelopori oleh Colombus pada tahun 1500-an (tepatnya 1492) dan disusul oleh Portugal, Inggris, Perancis, dan Belanda. Ditemukannya teknologi pelayaran dalam hal ini kompas atau penunjuk arah membuat bangsa Eropa sangat “agresif” dalam hal pelayaran. Dalam beberapa dasawarsa ekspansi melalui laut ini, bangsa Eropa sudah mendapatkan dominasi atas lautan yang memberi kesempatan pada mereka untuk menguasai Amerika, Asia, dan Afrika pada waktu itu.

Dengan mendirikan koloni-koloni baru di daerah pesisir pantai pada langkah awal penaklukan, memudahkan bangsa Eropa untuk melakukan ekspansi melalui darat dengan memasuki daerah-daerah pedalaman untuk membuka lahan baru pertanian ataupun perkebunan, serta pertambangan. Namun itu terjadi sekitar tiga abad setelahnya. Di beberapa tempat, koloni-koloni dipinggir pantai juga dipakai sebagai tempat perdagangan rempah-rempah, barang kerajinan, sutra, dan lain-lain seperti di St. Helena yang di dekatnya didirikan tempat perbaikan atau bengkel kapal-kapal perdagangan.5

Di India dan Amerika serta sebagian besar pada koloni-koloni baru dapat ditemukan gereja-gereja, rumah sakit, sekolah, bahkan pasar yang menandakan bahwa semangat ekspansi bangsa Eropa pada waktu itu didasari oleh semangat penyebaran Nasrani dan perdagangan dan akan dibahas lebih lanjut.

Negara-negara seperti Spanyol dan Portugis sangat mementingkan ekspansi untuk merebut daerah baru dan menasranikan kelompok-kelompok pribumi yang ada dan bersamaan dengan itu membuat kesempatan untuk mengambil emas dan perak dan mengirimnya kembali ke negara asalnya. Alhasil, Spanyol dan Portugal sebagai pelopor ekspansi kelautan pada 1500-an menduduki posisi monopoli perdagangan karena dua negara tersebut sudah memegang peranan penting dalam perdagangan Asia.

Pada tahun 1600-an, Belanda, Inggris, dan Perancis mulai mengikuti kesuksesan dua negara tersebut diatas dan hasilnya sudah dapat dominasi yang semakin besar dalam perdagangan Asia dan Afrika.6

Bukan kolonialisasi namanya jika tidak mengeksploitasi semaksimal mungkin daerah koloninya. Hal ini dilakukan oleh bangsa-bangsa Eropa yang disebutkan diatas, bahkan kalau memungkinkan cenderung membentuk badan-badan perdagangan agar dominasi akan tetap ada atas bangsa pribumi. Eksploitasi tidak hanya terjadi pada alam, melainkan juga terhadap personal dalam hal ini perbudakan yang akan dibahas lebih lanjut. Ekploitasi selalu membawa dampak yang selalu melekat erat dengan implementasinya, yaitu paksaan pada awalnya yang berakibat ketidaktahuan, kebodohan dan akhirnya kemiskinan.

Bahkan ekspansi itu diperkirakan akan berkahir dengan mendominasinya orang-orang kulit putih -bangsa Eropa- atau keturunan bangsa Eropa atas penduduk pribumi baik secara ekonomi, politik, dan sosial. Dan dengan cara demikian, situasi kolonial diinternalisasikan di daerah-daerah koloni.

Seperti yang telah disebutkan diatas, bahwa salah satu faktor pendorong terjadinya ekspansi bangsa Eropa melalui pelayaran dalam hal ini adalah misi Kristen. Setelah mendapat koloni-koloni baru, maka langkah selanjutnya adalah pendirian cabang-cabang gereja yang pada tahap awalnya didominasi oleh pendeta-pendeta dari Eropa, sampai akhirnya digantikan oleh penduduk asli setempat yang sudah dinasranikan. Dengan gereja juga pendeta-pendeta rajin menyembuhkan penyakit-penyakit badaniyah dan kejiwaan yang diderita penduduk setempat.

Strategi selanjutnya adalah pendirian rumah sakit-rumah sakit yang disusul dengan beberapa sekolah pendidikan bidan serta tenaga medis. Dari sekolah-sekolah yang didirikan bermaksud untuk menyebarluaskan kemampuan membaca dan menulis, dan itu tidak lepas dari gereja sebagai pusat pendidikan.7

Pendirian gereja dan sekolah serta rumah sakit tersebut secara langsung membawa misi perdagangan karena kebutuhan buku, alat tulis, obat-obatan, kitab suci, serta kebutuhan-kebutuhan lainnya. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, maka mendorong bangsa Eropa pendatang maupun pribumi untuk menghasilkan uang dengan cara menanam tanaman agar dapat dipasarkan. Dan inilah sebenarnya proses pembentukan masyarakat kota pada koloni-koloni dengan sistem perdagangan dan misi Kristen seperti yang disebutkan di atas yang berlangsung selama sekitar tiga abad. Di lain pihak, luasnya wilayah pemasaran dan penemuan mesin uap mendorong terjadinya Revolusi Industri di Eropa pada waktu itu.

Setelah itu, bangsa Eropa mulai melakukan penetrasi ke pedalaman dengan tujuan membuka lahan untuk perkebunan dan pertanian yang nantinya secara langsung terjadi benturan dengan kebudayaan lokal. Didukung dengan persenjataan yang lebih modern, mendorong bangsa Eropa melakukan penaklukan dan dominasi terhadap bangsa pribumi yang masih cenderung primitif, baik dari segi persenjataan hingga peradaban, dan itu terjadi secara umum di seluruh belahan dunia dimana bangsa Eropa melakukan ekspansi atau perluasan wilayah.

Dan dapat disimpulkan bahwa ekspansi melalui pelayaran ini menjadi faktor revolusi komersial di Eropa karena pembukaan “lahan” baru juga dimaksudkan untuk memperluas perdagangan luar negeri dan inovasi produk.

Dampak selanjutnya setelah ekspansi melalui laut adalah migrasi besar-besaran yang terjadi dari Eropa dan Afrika menuju pada “lahan” baru di seluruh dunia, baik Asia, Amerika, Australia, serta dari Afrika menuju ke Eropa. Disebabkan karena pada “lahan” baru tersebut bangsa Eropa telah membuat bermacam-macam penemuan baru dalam upaya bertahan hidup dan semangat penyebaran sekte dalam hal ini Kristen juga menjadi pemicu migrasi besar-besaran serta kebutuhan akan pekerja dalam hal ini disebut budak untuk menjadi pekerja di perkebunan, pertanian, pertambangan di “lahan” baru tersebut.

Terbentuknya masyarakat plural memang akan dicapai sebagai dampak dari migrasi besar-besaran tersebut. Komunitas-komunitas akan terbentuk dan saling bertemu dan berbenturan dengan perbedaan pekerjaan dan status sosial yang dimanifestasikan dalam pembedaan rasial berdasar faktor ciri kebudayaan seperti bahasa dan agama -Nasrani-.

Dapat dikatakan pada umumnya bahwa dalam masyarakat kolonial hanya terdapat dua komunitas, yaitu bangsa kulit “putih” dan pribumi, padahal lebih banyak lagi karena faktor pendatang dalam hal ini pedagang dengan inisiatif sendiri dari wilayah lain dan bahkan personal dengan darah campuran.8

Disebutkan bahwa terdapat pembedaan status sosial dalam masyarakat plural yang menimbulkan dominasi atau mewujudkan superioritas orang kulit putih dalam segala aspek kehidupan, dari keagamaan, ekonomi, politik, serta dalam bidang hukum. Hingga akhirnya terdapat pembedaan harga kehidupan. Maksudnya adalah bahwa hidup orang-orang tertentu lebih berharga daripada hidup orang-orang lain.9


Periode II. Sejarah Perbudakan

Perbudakan adalah status atau keadaan seseorang yang kepadanya dilaksanakan setiap dari kekuasaan-kekuasaan atau semua kekuasaan yang melekat pada hak atas pemilikan. Perdagangan budak mencakup semua perbuatan yang terlibat dalam penangkapan, perolehan atau peraturan terhadap seseorang dengan tujuan menurunkan dia pada perbudakan, semua perbuatan yang terlibat dalam perolehan seorang budak dengan tujuan menjual atau mempertukarkan dia; semua perbuatan pemberian dengan penjualan atau pertukaran terhadap seorang budak yang diperoleh dengan tujuan dijual atau dipertukarkan, dan, pada umumnya, setiap perbuatan memperdagangkan atau mengangkut para budak.10

Abad 15 sampai abad 16 terjadi migrasi besar-besaran oleh bangsa Eropa menuju ke Amerika. Membuka lahan dengan komoditas baru untuk pemenuhan permintaan pasar yang terbentuk setelah proses kolonialisasi sebelumnya. Konsekuensinya adalah kebutuhan budak untuk menjadi pekerja menjadi sangat tinggi. Sehingga, dapat diperkirakan sekitar 11 juta budak Afrika menjadi pekerja di lahan-lahan, pertambangan, dan usaha-usaha lainnya di lahan baru yaitu Amerika baik di bagian utara dan selatan.

Pembukaan lahan-lahan baru di daerah koloni untuk eksploitasi sumber daya alam memicu ledakan kebutuhan akan pekerja. Dan dari sinilah paham kapitalisme mulai terjadi. Sejarah perdagangan dunia dimulai. Kebutuhan akan keuntungan yang besar, energi yang murah, sumber daya alam yang murah, dan buruh yang murah menjadikan bangsa Eropa yang melakukan ekspansi bertanggungjawab terhadap migrasi besar-besaran dari Afrika ke Amerika dan seluruh penjuru dunia.

Budak-budak Afrika yang diperjualbelikan menjadi bisnis yang sangat menguntungkan selain bisnis komoditi pada waktu itu. Segitiga Emas jalur perdagangan budak yaitu Afrika-Eropa-Amerika terbentuk dengan kejam diatas HAM.

Tahun 1562 sampai 1807, bangsa Eropa yang telah melakukan kolonialisasi di Afrika Barat memaksa budak kulit hitam untuk bermigrasi, bukan sebagai manusia tetapi sebagai komoditas yang akan dibawa ke Amerika. Budak-budak kulit hitam itu dimasukkan ke dalam kapal dengan kondisi yang menyedihkan, berhimpitan, kelaparan. Kebanyakan dari mereka menderita penyakit hingga kematian karena tidak adanya perawatan dan juga anggapan bahwa budak adalah binatang yang tidak ada nilainya sama sekali kecuali hanya tenaganya saja.

Pulau Goree dalam bahasa Perancis dan Ila de Palma dalam bahasa Portugis, adalah sebuah pulau kecil di Senegal menjadi saksi bisu penderitaan jutaan bangsa Afrika (15-20 juta) selama empat abad lamanya. Pulau ini menjadi tempat penampungan budak Afrika sebelum dikirim ke Eropa dan Amerika.

Pengumpulan bangsa Afrika yang akan dijadikan budak tidak seperti dibayangkan dengan pendaftaran atau sebagainya, melainkan bangsa Eropa menangkapi bangsa Afrika baik laki-laki, perempuan, dan anak-anak layaknya berburu binatang. Dijerat, diambil paksa, diburu habis-habisan oleh orang-orang bayaran bangsa Eropa pada waktu itu.

Selain penangkapan secara paksa, bangsa Eropa juga melakukan perdagangan manusia. Mereka membawa komoditas murah seperti kapas, alkohol, tembaga dari Eropa yang dibawanya ke Afrika untuk ditukar dengan budak-budak Afrika. Saat penangkapan ini, orang-orang Afrika dalam keadaan sehat-sehat. Tapi, sekitar enam juta manusia meninggal karena kelaparan, sakit, dan tidak tahan penderitaan di penampungan dan perjalanan ke Eropa dan Amerika dalam kapal mengarungi Samudera Atlantik. Budak-budak itu diangkut dengan kapal kayu yang besar dengan leher, kaki, dan tangan yang diikat rantai denagn bola besi seberat lima kilogram selama tiga sampai empat bulan pelayaran.

Upaya Pembebasan Budak Di Eropa dan Amerika

Tahun 1771, dihadapkan dengan Keputusan Hakim Agung Mansfield Inggris, para pedagang dan pencari budak mulai dihentikan kegiatannya memperdagangkan manusia. Budak-budak tidak dapat dibawa masuk ke Inggris adalah satu momentum dimana sejarah pembebasan perbudakan dimulai. Menjelang akhir abad 18, perbudakan menjadi masalah yang kompleks di Inggris, sehingga muncul gerakan anti perbudakan dengan juru bicaranya William Wilberforce dengan beberapa orang tokoh humanis lain.

Perdagangan bebas, usaha swasta, kebebasan individu, dan penghapusan perbudakan bersatu dalam seperangkat prinsip sosial, politik, dan ekonomi sehingga pada 1807 di Inggris terjadi pelarangan perdagangan budak dan pada 1883 dibebaskannya semua budak.

Kasus di Inggris lalu menyebar ke Amerika Serikat sebagai pengimpor budak terbesar, pada tahun 1808, undang-undang di Amerika Serikat melarang perbudakan, namun sistem perbudakan masih tetap ada dan melembaga sampai tahun 1860-an setelah Perang Saudara dengan tokohnya adalah Abraham Lincoln.11

Perbudakan telah menjadi suatu fenomena yang umum di Amerika, berbagai macam pekerjaan telah menjadi konsekuensi migrasi secara paksa ke Amerika. Baik menjadi pekerja kebun, tentara, pertambangan, sampai pada korban pada upacara ritual keagamaan. Namun, di Amerika Serikat bagian selatan, para budak ini difokuskan pada kerja perkebunan terutama tembakau dan kapas. Dan eksploitasi perbudakan yang tidak manusiawi ini terjadi di Amerika Serikat yang telah menjadi negara selama dua belas periode kepresidenan disana. Dan perdebatan masalah perbudakan ini masih selalu panas sepanjang masa itu sampai pada puncaknya pada masa Perang Saudara di Amerika Serikat.

Di Amerika Serikat bagian selatan, upaya pembebasan budak memang gencar dilakukan yang dimanifestasikan ke dalam Undang-Undang di setiap negara bagian. Dan upaya itu muncul sebagai jawaban dari semakin banyaknya tuntutan dalam hal pembeasan budak atas nama kemanusiaan, dan Abraham Lincoln ada dibalik itu semua.

Berbeda dengan bagian Selatan, bagian Utara yang maasih sangat membutuhkan tenaga budak-budak dengan alasan kapitalisme. Sehingga bagian Utara membentuk suatu perlawanan terhadap perjuangan nasib budak di Selatan. Abraham Lincoln mulai membentuk pasukan untuk melawan bagian Utara atas dasar kemanusiaan. Yang akhirnya pada 1862 meletus Perang Saudara di Amerika Serikat antara bagian Selatan dan Utara yang dimenangkan pasukan bentukan Lincoln. Dan pada tanggal 1 Januari 1863, terdapat proklamasi bahwa semua budak-budak belian di negara-negara bagian bebas sebagai manusia. Titik tolak ini juga menjadi titik awal dimana kebebasan diperjuangkan.

Dua tahun kemudian, pada 1864, bagian Selatan Amerika Serikat mulai meletakkan senjata untuk mengakhiri Perang Saudara dan sekaligus menghapus perbudakan di Amerika Serikat atas gagasan Abraham Lincoln. Berakhirnya Perang Saudara juga sebagai upaya penyelamatan keutuhan negara Amerika Serikat itu sendiri.

Upaya Lanjutan di Eropa dan Afrika

Pada tahun 1831, ada sebuah perjanjian antara Inggris dan Brazil yang bersepakat dalam pelarangan perbudakan, namun perbudakan masih tetap berjalan berpuluh-puluh tahun kemudian hingga tahun 1881 baru perbudakan dihapuskan di Brazil. Tahun 1807 sampai 1869 diadakan patroli di sepanjang garis pantai Afrika untuk menghentikan perdagangan manusia ini dan nama David Livingstone dikenal dalam proses ini. Akhir abad 19, perbudakan mulai berhenti di seluruh dunia dan menandai berakhirnya sejarah panjang ekspansi bangsa Eropa. Namun, sejarah panjang telah diukir, sejarah kemanusiaan dan kebebasan sudah dimulai. Tidak heran jika titik acu peradaban manusia di seluruh dunia mengacu pada Eropa dan Amerika.

Disusul oleh Konvensi Perbudakan yang diselenggarakan di Jenewa, Swiss pada tanggal 25 September 1926. Usaha ini ditandatangani oleh negara-negara yang berpartisipasi dalam General Act dalam Konferensi Brussel pada tahun 1889-1890 yang menginginkan sistem perbudakan dalam segala bentuk baik di darat ataupun di laut untuk segara diakhiri. Konvensi ini menghasilkan tujuh pasal yang mengatur tentang perbudakan.

Terakhir adalah Konvensi Pelengkap tentang Penghapusan Perbudakan, Perdagangan Budak, danLembaga dan Praktek Serupa dengan Perbudakan di Jenewa pada tanggal 7 September 1956 yang menjadi pelengkap konvensi sebelumnya dengan pemutakhiran peraturan-peraturan di dalamnya.

Untuk sekedar mengingatkan, sebuah kutipan dari pernyataan Vandana Shiva yaitu, “Kolonialisasi lama hanya merampas tanah sedangkan kolonialisasi baru merampas seluruh kehidupan”. Dari pernytaan tersebut di atas, harapan ke depan ada sebuah upaya-upaya pencegahan maupun pembenahan sedini mungkin dari segala stake holder masyarakat, sehingga bentuk perbudakan dan kolonialisasi tidak berulang dan bertransformasi serta semakin mendominasi kehidupan.



1. Budiman, Arif. Sosiologi Dunia Ketiga

2. Pandjang Soegihardjono dan Eva Agustinawati. .Sosiologi Pembangunan.( Surakarta: UNS Press,1999) hal. 58

3. Jurnal Ekonomi Rakyat, Notulensi Seminar Seri V : Sejarah vs Politik Pertanian, 13 Maret 2002

4. Budiman, Arif. Sosiologi Dunia Ketiga

5. Budiman, Arif. Sosiologi Dunia Ketiga

6. Budiman, Arif. Sosiologi Dunia Ketiga

7. Ibid, hal. 80-81

8. Budiman, Arif. Sosiologi Dunia Ketiga

9. Ibid, hal. 98-99

10. Pasal 1 dan 2 Konvensi Perbudakan. Jenewa, 25 September 1926

11. Abraham Lincoln adalah Presiden Amerika yang ke-16 dengan masa jabatan 1861-1865. Abraham Lincoln juga dikenal sebagai Abe Lincoln dan menggunakan nama julukan Honest Abe, Rail Splitter, dan Great Emancipator.

Daftar Pustaka

- Journal History of International Migration. Universiteit Leiden, Mei 2008

- Jurnal Ekonomi Rakyat, Notulensi Seminar Seri V : Sejarah vs Politik Pertanian, 13 Maret 2002

- Jurnal Kajian Wilayah Eropa, Volume II. Universitas Indonesia, 2006

- africanhistory.about.com

- balitbangham.go.id/PERANGKAT%20INTERNASIONAL/Konvensi/10%20Konvensi%20Perbudakan.doc

- M. Henslin, James. 2007. Sosiologi Dengan Pendekatan Membumi Edisi 6 Jilid I. Erlangga. Jakarta

- Laeyendecker. 1983. Tata Perubahan, Suatu Pengantar Sejarah Sosiologi. Gramedia. Jakarta

- Budiman, Arif. Sosiologi Dunia Ketiga

- Pandjang Soegihardjono dan Eva Agustinawati. 1999. Sosiologi Pembangunan. UNS Press. Surakarta

- www.africanaonline.com/slavery_introduction.htm



Sumber: Tugas Mata Kuliah Teori Sosial Politik, Sosiologi FISIP UNS, Oleh; Maulana Kurnia Putra

Selasa, 22 Desember 2009

Diagramatikal Perkembangan Tujuan dan Alat-Alat Pemerintah

Perlindungan ---> Ketertiban ----> Keadilan


Kekuatan ---> Kekuasaan ---> Kewibawaan

Skema di atas adalah bagan yang dibuat berdasarkan analisa Leslie Lipson dalam bukunya yang berjudul The Great Issues of Politics, yang isinya menganalisa tentang tujuan negara yang berbanding lurus dengan perkembangan dan pertumbuhan alat-alat negara itu sendiri dalam mencapai tujuannya.

Alat-alat negara adalah suatu faktor yang penting dan tidak dapat diabaikan jika melihat tujuan negara itu sendiri, karena dengan alat-alat itu negara dapat berjalan mencapai tujuannya yang dicia-citakan. Dan negara juga tidak bisa menhalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya, namun juga harus bersifat etis.

Fungsi negara pada pokoknya adalah fungsi perlindungan yang pada awalnya negara dibentuk oleh individu-individu yang membutuhkan perlindungan. Dan negara akan tetap dipelihara untuk mempertahankan fungsi perlindugan terhadap individu-individu di dalamnya. Dan pada akhirnya, perlindungan mempunyai hubungan kausalitas terhadap pembentukan negara.

Perlindungan yang dimaksudkan juga tidak hanya perlindungan secara fisik saja. Namun karena sifat manusia dengan kepemilikan dan faktor ekonomi juga sangat mempunyai pengaruh, dan itu juga membutuhkan perlindungan dari negara. Maka dari itu, negara haruslah membentuk ketertiban melalui perlindungan itu agar individu-individu di dalamnya dapat menjalankan usaha-usahanya secara bebas tanpa gangguan.

Namun dalam berjalannya kedua fungsi negara tersebut harus didasari dengan keadilan. Maksudnya adalah fungsi negara mengalami pergeseran dan perkembangan dari pemberian perlindungan dan pemeliharaan ketertiban yang berdasarkan keadilan.

Berjalan beriringan dengan pergeseran tujuan negara, maka bergeser pula alat-alat negara untuk memenuhi tujuannya itu. Tujuan pertama adalah perlindungan, maka dalam untuk memenuhi tujuan itu, negara membutuhkan alat yang bernama kekuasaan. Perlindungan harus memiliki kekuatan, pendek kata tanpa kekuatan, tidak ada perlindungan. Kekuatan ini harus dipegang oleh negara, bukan yang lain, jika tidak maka keamanan dan stabilitas negara akan terancam bahkan terguncang bahkan akan menghancurkan negara itu sendiri.

Namun kenyataannya, kekuatan ini belum dapat menstabilkan daya pemaksa negara itu sendiri karena kekuatan ini harus mendapatkan persetujuan dari individu-individu yang dilindungi itu sendiri, dalam hal ini adalah rakyat. Dengan konsensus tersebut, rakyat dapat dengan sukarela mentaati kekuasaan negara dan menggeser kekuatan menjadi kekuasaan.

Dalam bukunya itu pula, individu-individu dalam negara dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:

a. wakil rakyat dan pegawai negara

b. pengikut wakil negara

c. penentang

Di atas diterangkan bahwa negara harus mendapat persetujuan dari rakyat, namun tidak semua rakyat melaksanakannya, hanya kategori pertama dan kedua saja dari penggolongan di atas. Negara tidak mendapatkan persetujuan dari golongan penentang yang cenderung melawan. Maka dari itu, negara harus mempunyai sifat kewibawaan yang akan membuat kekuasaan negara diterima oleh semua golongan yang ada dalam negara itu sendiri. Sifat itu adalah kewibawaan.

Sifat kewibawaan menurut Lipson memberi legalitas kepada kekuasaan itu. Kewibawaan membuat semua elemen yang ada, baik pengikut atau penentang mentaati kekuasaan negara itu, dan segala bentuk perlawanan dilihat sebagai tindakan-tindakan melawan hukum.

Bergesernya tujuan negara juga membuat bergeser pula alat-alat yang diperlukan untuk mencapai tujuannya itu. Dan perkembangan tujuan dan alat-alat akan selalu berjalan beriringan.


Daftar Pustaka

Isjwara. 1982. Pengantar Ilmu Poltik. Binacipta. Bandung


Sumber: Tugas Mata Kuliah Pengantar Ilmu Politik, Sosiologi FISIP UNS, Oleh; Maulana Kurnia Putra