Ponorogo sebagai kota yang terkenal dengan budaya Reognya, ternyata juga memiliki banyak budaya atau tradisi lainnya. Tradisi yang tidak kalah pengaruhnya didalam masyarakat desa utamanya di Ponorogo adalah tradisi mbecek. Tradisi mbecek merupakan kebiasaaan masyarakat setempat memberikan bantuan berupa bahan-bahan makanan pokok dan atau uang kepada warga masyarakat yang memiliki hajat, baik itu pernikahan ataupun khitanan. Pada prinsipnya aktifitas mbecek ini sama dengan aktifitas gotong royong yang lain, yaitu adanya keinginan untuk saling membantu. Akan tetapi perbedaanya terletak pada konseptualnya.
Tradisi mbecek sering kali diartikan sebagai pemberian bantuan baik berupa barang dan atau uang kepada pihak yang sedang menyelenggarakan hajat atau pesta. Adapun bentuk sumbangan yang berupa barang diantaranya adalah beras, gula, kentang, mie, roti, pisang, kelapa, boncis, dan lain sebagainya. Sumbangan yang berupa barang tersebut bisanya adalah kebutuhan pokok yang dibawa oleh kaum wanita disamping uang, sedangkan laki-laki berupa uang saja.
Pelaksanaan pesta perkawinan ataupun khitanan yang ada didesa seringkali tidak terlepas dari aktifitas aktifitas mbecek merupakan kebiasaan yang tidak bisa ditinggalkan. Hubungan sosial anggota masyarakat yang memberikan bantuan atau sumbangan tidak semata-mata karena keikhlasan hati akan tetapi ada hal yang diinginkan yaitu adanya keinginan untuk mendapatkan pengembalian yang setimpal dari usaha yang telah diberikan (sumbangan) ketika suatu saat anggota masyarakat yang menyumbang tadi menggelar hajatan (resiprositas).
Tradisi mbecek merupakan suatu bentuk gotong royong yang lebih spesifik mengingat kegiatannya lebih banyak dilakukan oleh para penduduk di pedesaan dengan bentuk yang berbeda dengan tradisi yang lain. Tradisi mbecek banyak melibatkan orang yang mana masing-masing orang memiliki peran yang berbeda. Ada yang berperan membantu keluarga yang menggelar hajatan (saudara dan tetangga) dan ada yang berperan sebagai penyumbang (tetangga, saudara, sahabat, teman dan kenalan). Melihat banyaknya orang yang terlibat didalam aktifitas mbecek ini maka dimungkinkan banyak uang, tenaga dan fikiran yang terkuras dalam menggelar acara hajatan tersebut. Terkurasnya fikiran, tenaga dan dana dapat dilihat dari waktu dan proses kegiatan yang cukup lama. Rata-rata seseorang yang menggelar acara hajatan membutuhkan waktu satu minggu untuk kegiatan ini.
Waktu yang sedemikian panjang digunakan dalam tiga tahap, yaitu tahap sebelum hari H, waktu hari H dan setelah hari H. Masing-masing tahapan membutuhkan waktu minimal dua hari. Penggunaan waktu dua hari dimasing-masing tahapan akan mengakibatkan waktu, tenaga dan hari kerja dari para tetangga dan saudara akan tersita untuk membantu setiap proses acara. Berapa kerugian jika hal tersebut dihitung dan diuangkan?
Tradisi mbecek ini menarik untuk diteliti karena tradisi ini berbeda dengan tradisi nyumbang yang ada dikota. Tradisi mbecek yang ada di daerah pedesaan melibatkan seluruh anggota keluarga yang sudah dianggap dewasa. Dengan intensitas yang cukup sering dari tradisi mbecek inilah yang memungkinkan terjadinya resistensi dalam perekonomian keluarga. Aktifitas mbecek tidak saja berlaku untuk saudara, tetangga ataupun sahabat, akan tetapi juga berlaku untuk saudara dari tetangga yang belum tentu dikenal dengan baik. Dengan adanya fenomena semacam itu maka peneliti ingin mengetahui apakah yang melatarbelakangi dari pelestarian tradisi mbecek dan apakah tradisi tersebut masih relevan untuk lestarikan.
Rumusan masalah dari penelitian yang kami lakukan adalah “Bagaimanakah realita masyarakat dalam menyikapi tradisi mbecek dan jelitan kemiskinan yang terjadi di Desa Temon, Kelurahan Ngrayu, Kabupaten Ponorogo?” Sehingga tujuan penelitian ini adalah “Mengetahui realita masyarakat dalam menyikapi tradisi mbecek dan jelitan kemiskinan yang terjadi di Desa Temon, Kelurahan Ngrayu, Kabupaten Ponorogo.” Dan manfaat yang diharapkan dari penelitian yang dilakukan adalah menjadi bahan pertimbangan dalam masyarakat, apakah tetap ingin melestarikan tradisi mbecek atau ingin menggantinya sebagai wujud solidaritas.
II. Metode Penelitian
Teori yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah teori pertukaran sosial (resiprositas). Teori pertukaran sosial berdasarkan prinsip transaksi ekonomi elementer, yaitu seorang individu menyediakan barang atau jasa dan sebagai imbalannya berharap memperoleh barang atau jasa yang sesuai dengan apa yang telah diberikan (diinginkan). Menurut para ahli teori, pertukaran memiliki asumsi sederhana bahwa interaksi sosial itu mirip dengan dengan transaksi ekonomi. Akan tetapi mereka mengakui bahwa pertukaran sosial tidak selalu dapat diukur dengan nilai uang, sebab dalam berbagai transaksi sosial dipertukarkan juga hal-hal yang nyata dan hal-hal yang tidak nyata (Paloma, 2003 : 52).
Jenis penelitian yang dilakukan kali ini berjenis deskriptif kualitatif. Yaitu penelitian yang bermaksud untuk menguraikan mengenai suatu gejala berdasarkan pada indikator-indikator yang dijadikan dasar gejala yang diteliti (Slamet: 2006: 7). Lokasi penelitian bertempat di Desa Temon, Kecamatan Ngrayu, Kabupaten Ponorogo. Populasi penelitian adalah masyarakat Desa Temon, Kecamatan Ngrayu, Kabupaten Ponorogo, sedangkan pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling yaitu teknik pengambilan sampel yang diarahkan kepada sumber data yang dipandang mempunyai data yang penting berkaitan permasalahan yang diteliti (H.B. Sutopo, 2006 : 46).
Teknik pengumpulan data yang dipakai adalah melalui wawancara mendalam (indepth interview). Alasan menggunakan teknik ini adalah karena dapat dilakukan pada waktu dan kondisi konteks yang dianggap paling tepat guna mendapatkan data rinci, jujur dan mendalam (Sutopo, 2006:69). Selain itu, pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka berupa dokumentasi dari arsip dan media massa. Analisis data dengan menggunakan metode analisis interaktif. Model analisis dengan proses berbentuk siklus. Dalam bentuk ini peneliti tetap bergerak diantara tiga komponen analisis (meliputi reduksi data, sajian data dan penarikan simpulan/ verifikasi) dengan proses pengumpulan data selama kegiatan pengumpulan data berlangsung (Sutopo, 2006: 119).
III. Hasil Penelitian
Dari penelitian yang kami laksanakan didapatkan berupa realita masyarakat dalam menyikapi tradisi mbecek dan jelitan kemiskinan yang terjadi. Dengan diawali pemaparan terkait yaitu karekteristik masyarakat Desa Temon dan nilai-nilai yang terkandung dalam Tradisi Mbecek
Karakteristik Masyarakat Desa Temon
Masyarakat desa merupakan masyarakat dengan ciri, karakteristik dan jati diri yang unik. Unik disini dimaksudkan adalah berbeda dengan masyarakat kota atau masyarakat pinggiran kota. Hal inilah yang menjadi ciri khas tersendiri bagi masyarakat desa. Keunikan, ciri khas dan jati diri inilah yang membuat suatu desa dikenal dan memiliki arti. Dengan memiliki keunikan maka masyarakat luar dapat dengan mudah mengetahui dan memahami karakteristik dari penduduknya.
Kehidupan keseharian masyarakat desa Temon setelah selesai bekerja biasanya bersantai dengan keluarga dan tetangga. Banyaknya waktu untuk berbincang dan berkumpul menjadikan suasanya yang terbangun adalah suasana kekeluargaan.
Nilai-nilai yang Terkandung dalam Tradisi Mbecek
Penelitian merupakan suatu seni untuk memperoleh ilmu dengan metode yang berbeda-beda. Ada yang menggunakan metode wawancara, FGD (focus group discussion), ada pengamatan dan ada pula yang menggunakan metode terlibat langsung. Masing-masing metode memiliki kelebihan dan kekurangan sendiri-sendiri. Penelitian yang ingin mengetahui tentang sesuatu yang berhungan keuangan keluarga hendaknya tidak hanya mengandalkan salah satu metode saja. Hal ini dikarenakan oleh sifat dari masyarakat desa yang cenderung tertutup berkaitan dengan masalah keuangan. Jika hanya mengandalakan wawancara maka kita bisa terjebak kepada data yang tidak valid karena apa yang disampaikan tidak sesuai dengan kenyataan. Jika kita menggunakan metode FGD bisa jadi data yang kita peroleh adalah data yang bertentangan. Hal ini bisa terjadi karena masing-masing orang mempunyai pengalaman dan wawasan yang berbeda. Jika menggunakan metode pengamatan maka kita tidak bisa memperoleh data primer karena hanya berdasarkan pengamatan dan penafsiran dari pengamat. Yang paling memungkinkan untuk memperoleh data yang paling valid adalah dengan metode keterlibatan partisipatif. Hal ini dimungkinkan karena adanya hubungan emosional yang baik antar orang yang diteliti dan sipeneliti. Adanya keterlibatan dan hubungan emosional yang baik maka sangat memungkinkan data yang terekam adalah data yang sebenarnya.
Pengungkapan terhadap permasalahan yang peneliti angkat dalam rumusan masalah mengenai tradisi mbecek di masyarakat desa Temon kecamatan Ngrayun kabupaten Ponorogo, peneliti menggunakan metode yang beragam. Peneliti menggunakan metode pengamatan, FGD (focus group discassen), wawancara mendalam dan terlibat langsung. Hal ini dikarenakan peneliti pernah tinggal di sana dan mendampingi masyarakat desa Temon tersebut.
Dari hasil penelitian yang dilakukan melalui metode wawancara, focus group discassen, partisipasi dan pengamatan maka diperoleh hasil bahwa nilai yang terkandung dalam tradisi mbecek dimasyarakat desa Temon kecamatan Ngrayun adalah nilai gotong royong, nilai ketahanan ekonomi yang semakin melemah dan tidak seimbangan.
Realita Tradisi Mbecek dan Jelitan Kemiskinan Masyarakat Desa Temon Kecamatan Ngrayun
A. Tradisi Mbecek Zaman Dulu
Masyarakat merupakan sebuah sistem yang dinamis. Dikatakan sebuah sistem karena didalam masyarakat ada banyak unsur yang membentuk dan saling mempengaruhi. Ada manusia, budaya, tradisi, norma, aturan dan masih banyak yang lain. Antara satu dengan yang lain saling mempengaruhi dan terjadi proses ketergantungan, jika satu unsur tidak berfungsi maka unsur yang lain akan mengalami perubahan. Masyarakat sebagai sistem merupakan sesuatu yang senantiasa bergulir dan bergerak. Dalam aktivitas sosialnya masyarakat senantiasa bergerak, mengalami perubahan dan perkembangan.
Perubahan yang ada dalam masyarakat dapat dibagi menjadi dua yaitu perubahan kepada arah yang lebih baik dan perubahan kepada kemunduran. Perubahan kepada arah yang lebih baik inilah yang sebenarnya diinginkan oleh masyarakat, akan tetapi tidak semua apa yang diinginkan oleh masyarakat dapat tercapai. Ada kalanya perubahan yang ada dalam masyarakat mengarah kepada kemunduran, hal ini dapat dikarenakan oleh dampak dari perubahan yang tidak sesuai dengan harapan dan perencanaan.
Dalam buku Upacara Tradisional Jawa disebutkan bahwa adat istiadat adalah suatu komplek norma yang oleh individu-individu yang menganutnya dianggap ada diatas manusia yang hidup bersama dalam kenyataan suatu masyarakat (Purwadi, 2005 : 152). Adat istiadat merupakan pedoman tingkah laku untuk mengontrol setiap perbuatan manusia. Dengan adat istiadat maka anggota masyarakat terikat dalam setiap kegiatannya. Setiap perbuatan dan kegiatan yang dilakukan haruslah disesuaikan dengan adat istiadat yang berlaku. Hal ini untuk menghindari pergesekan antar anggota masyarakat.
Kegiatan gotong royong yang ada dimasyarakat desa sudah ada sejak zaman dulu. Prinsip ”paseduluran” (persaudaraan) inilah yang mendasari masyarakat desa untuk mengadakan gotong royong. Gotong royong yang dijalankan zaman dulu biasanya berupa kegiatan mengadakan hajatan, memperbaiki rumah, jembatan, jalan dan kebersihan lingkungan. Disamping itu gotong royong juga sering mereka lakukan ketika mengurus kebun dan ladang.
Mereka menilai dengan bergotong royong akan mempermudah dan lebih menghemat pengeluaran. Dizaman dulu ketika seseorang akan memperbaiki rumah maka orang yang punya rumah cukup memberi kabar ”ngaturi” kepada para tetangga, dengan begitu para tetangga diwaktu yang telah ditentukan akan beramai-ramai untuk membantu proses pembuatan rumah. Ada yang membantu dalam memasang batu bata, ada yang membantu mempersiapkan material dan ada juga yang mempersiapkan kayu dan ada pula yang membantu memasak. Kegiatan yang dilakukan tergantung dari keahlian masing masing orang. Kegiatan ini berjalan dengan dinamis dan penuh dengan suka cita. Hal ini terlihat dari kebersamaan dan canda tawa diantara mereka.
Kegiatan tolong menolong diantara mereka disamping dalam bidang sosial juga merambah kepada bidang ekonomi. Dalam bidang ekonomi gotong royong terlihat dari adanya saling membantu dalam memenuhi kebutuhan untuk menggelar hajatan. Jika ada tetangga, saudara dan teman yang mengadakan hajatan maka para tetangga beramai-ramai membantu dengan memberikan bantuan berupa bahan kebutuhan untuk menggelar hajatan tersebut. Bantuan yang diberikan biasanya berupa barang kebutuhan pokok dan atau uang. Bantuan berupa barang kebutuhan pokok diharapkan dapat membantu ”nyengkuyung” lancarnya prosesi hajatan yang digelar. Bantuan-bantuan yang diberikan oleh warga masyarakat disekitar lingkungan tinggal mempunyai maksud agar apa yang sudah mereka upayakan dan lestarikan selama ini dapat terjaga. Keinginan untuk melestarikan budaya mbecek dilandasi oleh keinginan untuk menjaga “nguri-nguri” tradisi dan budaya warisan leluhur. Mereka meyakini bahwa tradisi-tradisi warisan para leluhur merupakan sesuatu yang akan membawa mereka kepada rasa kebersamaan, keharmonisan dan kekeluargaan yang telah menjadi prinsip dan slogan hidup mereka.
Mereka sangat percaya dengan adanya kebersamaan dan gotong royong maka segala sesuatu akan dapat mereka selesaikan. Prinsip inilah yang melekat dan menjadi jati diri warga desa Temon. Prinsip inilah yang juga berlaku didalam kegiatan sosial dan ekonomi termasuk dalam kegiatan mengadakan hajatan. Dalam menggelar hajatan mereka sangat mengandalkan bantuan dari para tetangga dan saudara dekatnya. Hal ini dilakukan untuk memperingan dan mempermudah jalanya acara yang akan dilaksanakan. Dengan adanya kebersamaan dan gotong royong diantara mereka maka kegiatan hajatan pasti akan berjalan lancar dan sukses.
B. Mbecek Zaman Sekarang
Perubahan merupakan sebuah keniscayaan dari proses kehidupan. Silih bergantinya perputaran roda kehidupan menjadikan perubahan merupakan sebuah keniscayaan. Perubahan yang terjadi seiring berjalannya waktu juga berimbas pada berubahnya nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Nilai-nilai yang dulu dianggap tabu sekarang mulai luntur berkat perubahan dan difusi kebudayaan. Inilah yang sering disebut dengan pengaruh globalisasi. Dunia seakan menjadi kampung besar yang tidak ada pembatasnya. Setiap detik kita dapat mengatahui perubahan dan kejadian dibelahan bumi yang lain. Ini adalah salah satu konsekuensi dari adanya globalisasi.
Perubahan yang terjadi dengan pola pikir dan nilai-nilai yang dianut oleh warga masyarakat juga membuat perubahan dalam setiap lini kehidupan warga masyarakat. Perubahan sebagai konsekuensi dari globalisasi juga dialami oleh warga masyarakat desa. Adanya televisi, radio dan alat komunikasi yang sudah cukup canggih menjadikan budaya luar bisa dengan sangat mudah masuk dan mempengaruhi pola perilaku dari masyarakat desa.
Perubahan perilaku dan kebiasaan dari masyarakat juga berimbas pada perubahan persepsi mengenai pandangan tradisi yang selama ini mereka anut. Tradisi mbecek yang berkembang akhir-akhir ini ada pola pergeseran yang cukup menonjol. Perubahan dan pergeseran yang ada dapat dilihat dari beberapa hal. Perubahan niat dan tata cara. Perubahan niat inilah yang saat ini sangat menonjol. Dulu ketika seseorang menggelar hajatan adalah dalam rangka mengumpulkan saudara, tetangga dan teman untuk bersama-sama menikmati anugerah yang diberikan oleh Allah SWT, akan tetapi untuk sekarang ini kebanyakan dari orang yang menggelar hajatan adalah untuk memperoleh sumbangan dari tetangga, saudara, teman dan kenalan yang hasil dari perolehan sumbangan nantinya digunakan untuk keperluan hidup atau membeli barang-barang kebutuhan.
Pergeseran niat inilah yang menyebabkan seseorang dalam menggelar hajatan tidak/kurang dalam mempersiapkan segala kebutuhannya. Dulu ketika akan menggelar hajatan jauh-jauh hari sudah mempersiapkan ”klumpuk-klumpuk” segala sesuatunya mulai dari barang-barang sembako dan alat-alat untuk pagelaran hajatan. Berbeda dengan zaman sekarang yang kebanyakan orang yang akan menggelar hajatan belum mempunyai modal yang cukup atau bahkan tidak memiliki apa-apa. Barang-barang yang akan digunakan untuk kebutuhan hajatan biasanya dipinjam terlebih dahulu dari toko atau meminjam uang kepada saudara atau para pengusaha sebagai modal.
Hal inilah yang menyebabkan seseorang yang mengadakan acara hajatan yang tidak punya modal yang cukup menjadi terjebak ke dalam jerat kemiskinan yang sulit untuk dilepaskan. Hasil sumbangan yang diperoleh harus dikurangi untuk membayar biaya utang modal yang telah mereka gunakan dalam pagelaran hajatan, belum lagi untuk biaya persewaan alat-alat yang digunakan. Inilah yang menyebabkan tidak sesuainya antara hasil sumbangan yang diperoleh dengan besarnya beban yang harus mereka tanggung. Pendapatan dari hasil sumbangan yang diperoleh dari para tamu dan orang-orang yang menyumbang terkuras untuk membayar biaya sewa peralatan dan perlengkapan selama proses hajatan dilangsungkan.
Orang yang menggelar hajatan untuk sekarang ini kebanyakan menerapkan prinsip ekonomi yaitu dengan mengeluarkan biaya yang seringan-ringannya untuk mendapatkan hasil yang sebesar-besarnya. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya orang tua yang menggelar hajatan dalam rangka khitanan putranya. Hal ini tidak sebanding dengan angka hajatan yang digelar dalam rangka resepsi pernikahan. Prinsip bisnis ini sangat terlihat ketika ada hajatan dalam rangka ulang tahun atau piton-piton. Dengan hanya memberikan sajian yang ala kadarnya (sederhana) mereka akan mendapatkan sumbangan yang jumlahnya jauh melebihi dari sajian yang dihidangkan kepada para tamu undangan yang hadir. Penggunaan prinsip ekonomi ini akhir-akhir ini yang semakin banyak variasinya. Dari mulai menggelar acara ulang tahun, piton-piton dan pindah rumah merupakan salah satu alternatif ketika mereka sudah tidak mempunyai putra atau putri yang dapat mereka adakan acara hajatan. Prinsip mereka adalah ketika sudah mengeluarkan banyak uang untuk acara mbecek maka konsekuensinya mereka harus mendapatkan imbalan atau kembalian dari apa yang selama ini mereka berikan. Hal inilah yang memicu adanya beragam variasi dalam pagelaran hajatan.
Pergeseran yang sangat besar (niat, tata cara dan keperluan) inilah yang sekarang sudah tidak sesuai lagi dengan cita-cita para nenek moyang mereka terlebih dahulu. Dulu seseorang ketika menggelar acara hajatan dan syukuran adalah dalam rangka mempertemukan saudara, teman dan kenalan untuk berbegi kebahagiaan akan tetapi dizaman sekarang ini nilai-nilai itu telah tergantikan dengan nilai-nilai materealisme sempit.
IV. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan terhadap masyarakat di Desa Temon, Kecamatan Ngrayun, Kabupaten Ponorogo, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Ada tiga nilai yang tertangkap dari adanya aktifitas mbecek di desa Temon kecamatan Ngrayun kabupaten Ponorogo yaitu nilai gotong royong, nilai ketahanan ekonomi yang melemah dan nilai eksploitasi. Nilai gotong royong tercermin dari adanya saling bantu membantu antara warga masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dalam hajatan yang digelar oleh seseorang yang mempunyai hajat. Nilai kedua yang tertangkap adalah nilai ekonomi yang melemah. Adanya keharusan untuk melakukan aktifitas mbecek dengan frekuensi yang sangat sering memungkinkan adanya pemborosan. Dengan adanya penghasilan yang tidak sesuai antara pendapatan dan pengeluaran maka memungkinkan adanya minus pendapatan. Dengan demikian perekonomian yang ada tidak akan pernah berkembang. Nilai yang ketiga yang terungkap adalah nilai eksploitasi. Hal ini terlihat manakala ada orang miskin yang harus mengembalikan sumbangan kepada orang kaya dengan nilai yang sama dengan apa yang diberikan oleh orang kaya kepada orang miskin.
2. Tradisi mbecek sudah tidak sesuai dengan tujuan awalnya yang ingin saling membantu, mengurangi beban dan bersama-sama bersuka cita, akan tetapi sekarang berubah menjadi ajang bisnis. Walaupun demikian tradisi ini sampai saat ini masih berjalan.
3. Tradisi mbecek sebagai salah satu sistem gotong royong dan tolong menolong dalam kehidupan bermasyarakat hendaknya tidak terlalu memaksakan diri (sesuai dengan kemampuan) sehingga ketika benar-benar tidak mampu maka tidak mencari pinjaman untuk ikut mbecek sehingga tidak menimbulkan masalah yang lain (utang).
4. Tradisi mbecek sebagai tradisi yang kurang mendukung adanya perkembangan usaha maka sebaiknya orang yang akan memberikan sumbangan kepada orang lain hendaknya difikirkan terlebih dahulu (selektif). Apa manfaat dan pertimbangnya, sehingga upaya pengembangan perekonomian yang selama ini diupayakan dapat berhasil.
5. Bagi para pengembang masyarakat, usaha mikro dan kecil perubahan terhadap pola pikir yang berkaitan dengan budaya yang kurang mendukung terhadap peningkatan kesejahteraan ekonomi hendaknya menjadi perhatian tersendiri. Karena akan percuma saja jika disatu sisi sudah mengupayakan peningkatan pendapatan ekonomi keluraga akan tetapi disisi yang lain budaya yang tidak mendukung pengelolaan keuangan (boros) masih dilestarikan.