Sabtu, 26 Desember 2009

Ekspansi Eropa Dan Perbudakan Dunia

Konsep feodalisme sejak dahulu diyakini sebagai paham fundamental dari imperium, sistem pemerintahan tertua yang telah ada di berbagai belahan dunia. Disebabkan oleh modus eksistensi manusia yaitu dominasi, kerajaan-kerajaan ataupun dinasti-dinasti terdahulu mendorong untuk melakukan penaklukan terhadap daerah-daerah baru yang dalam paper ini kami sebut proses tersebut ekspansi yang di dalamnya terdapat kolonialisasi.

Semangat imperialisme mendorong Eropa -dalam hal ini dipelopori Spanyol- untuk melakukan ekspansi ke belahan dunia lain untuk menambah koloni-koloni baru. Tidak saja benua Amerika, namun juga seluruh belahan dunia lain menjadi koloni-koloni baru bagi kerajaan-kerajaan Eropa pada waktu itu.

Kolonialisasi berasal dari kata koloni yang berarti tempat tinggal di negara baru yang implementasinya pada waktu itu adalah membuat kantong-katong kecil di tepi pantai sebagai tempat tinggal dan utamanya sebagai tahap awal perluasan daerah imperium atau kerajaan.1

Menurut Lenin tingkat imperialisme kolonial adalah negara induk (centre) mengatur dan memonopoli produksi komoditi ekspor dari kawasan pinggiran (peripheri) yakni, kawasan koloni.2

Mencari emas untuk kekayaan guna memperkukuh kejayaan imperium dan menyebarluaskan dogma-dogma gereja menjadi suatu dasar dan semangat ekspansi-ekspansi yang dilakukan oleh bangsa Eropa pada waktu itu yang pada akhirnya di Eropa terjadi proses Merkantilisme.3 Kolonialisasi dapat dibagi menjadi dua tahap besar dalam garis sejarahnya, yaitu pertama adalah pelayaran dan senjata serta yang kedua adalah perbudakan.4

Periode I. Pelayaran, Perdagangan dan Masyarakat Kota

Periode pertama adalah ekspansi malalui pelayaran yang dilakukan bangsa-bangsa Eropa ke seluruh belahan dunia yang dipelopori oleh Colombus pada tahun 1500-an (tepatnya 1492) dan disusul oleh Portugal, Inggris, Perancis, dan Belanda. Ditemukannya teknologi pelayaran dalam hal ini kompas atau penunjuk arah membuat bangsa Eropa sangat “agresif” dalam hal pelayaran. Dalam beberapa dasawarsa ekspansi melalui laut ini, bangsa Eropa sudah mendapatkan dominasi atas lautan yang memberi kesempatan pada mereka untuk menguasai Amerika, Asia, dan Afrika pada waktu itu.

Dengan mendirikan koloni-koloni baru di daerah pesisir pantai pada langkah awal penaklukan, memudahkan bangsa Eropa untuk melakukan ekspansi melalui darat dengan memasuki daerah-daerah pedalaman untuk membuka lahan baru pertanian ataupun perkebunan, serta pertambangan. Namun itu terjadi sekitar tiga abad setelahnya. Di beberapa tempat, koloni-koloni dipinggir pantai juga dipakai sebagai tempat perdagangan rempah-rempah, barang kerajinan, sutra, dan lain-lain seperti di St. Helena yang di dekatnya didirikan tempat perbaikan atau bengkel kapal-kapal perdagangan.5

Di India dan Amerika serta sebagian besar pada koloni-koloni baru dapat ditemukan gereja-gereja, rumah sakit, sekolah, bahkan pasar yang menandakan bahwa semangat ekspansi bangsa Eropa pada waktu itu didasari oleh semangat penyebaran Nasrani dan perdagangan dan akan dibahas lebih lanjut.

Negara-negara seperti Spanyol dan Portugis sangat mementingkan ekspansi untuk merebut daerah baru dan menasranikan kelompok-kelompok pribumi yang ada dan bersamaan dengan itu membuat kesempatan untuk mengambil emas dan perak dan mengirimnya kembali ke negara asalnya. Alhasil, Spanyol dan Portugal sebagai pelopor ekspansi kelautan pada 1500-an menduduki posisi monopoli perdagangan karena dua negara tersebut sudah memegang peranan penting dalam perdagangan Asia.

Pada tahun 1600-an, Belanda, Inggris, dan Perancis mulai mengikuti kesuksesan dua negara tersebut diatas dan hasilnya sudah dapat dominasi yang semakin besar dalam perdagangan Asia dan Afrika.6

Bukan kolonialisasi namanya jika tidak mengeksploitasi semaksimal mungkin daerah koloninya. Hal ini dilakukan oleh bangsa-bangsa Eropa yang disebutkan diatas, bahkan kalau memungkinkan cenderung membentuk badan-badan perdagangan agar dominasi akan tetap ada atas bangsa pribumi. Eksploitasi tidak hanya terjadi pada alam, melainkan juga terhadap personal dalam hal ini perbudakan yang akan dibahas lebih lanjut. Ekploitasi selalu membawa dampak yang selalu melekat erat dengan implementasinya, yaitu paksaan pada awalnya yang berakibat ketidaktahuan, kebodohan dan akhirnya kemiskinan.

Bahkan ekspansi itu diperkirakan akan berkahir dengan mendominasinya orang-orang kulit putih -bangsa Eropa- atau keturunan bangsa Eropa atas penduduk pribumi baik secara ekonomi, politik, dan sosial. Dan dengan cara demikian, situasi kolonial diinternalisasikan di daerah-daerah koloni.

Seperti yang telah disebutkan diatas, bahwa salah satu faktor pendorong terjadinya ekspansi bangsa Eropa melalui pelayaran dalam hal ini adalah misi Kristen. Setelah mendapat koloni-koloni baru, maka langkah selanjutnya adalah pendirian cabang-cabang gereja yang pada tahap awalnya didominasi oleh pendeta-pendeta dari Eropa, sampai akhirnya digantikan oleh penduduk asli setempat yang sudah dinasranikan. Dengan gereja juga pendeta-pendeta rajin menyembuhkan penyakit-penyakit badaniyah dan kejiwaan yang diderita penduduk setempat.

Strategi selanjutnya adalah pendirian rumah sakit-rumah sakit yang disusul dengan beberapa sekolah pendidikan bidan serta tenaga medis. Dari sekolah-sekolah yang didirikan bermaksud untuk menyebarluaskan kemampuan membaca dan menulis, dan itu tidak lepas dari gereja sebagai pusat pendidikan.7

Pendirian gereja dan sekolah serta rumah sakit tersebut secara langsung membawa misi perdagangan karena kebutuhan buku, alat tulis, obat-obatan, kitab suci, serta kebutuhan-kebutuhan lainnya. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, maka mendorong bangsa Eropa pendatang maupun pribumi untuk menghasilkan uang dengan cara menanam tanaman agar dapat dipasarkan. Dan inilah sebenarnya proses pembentukan masyarakat kota pada koloni-koloni dengan sistem perdagangan dan misi Kristen seperti yang disebutkan di atas yang berlangsung selama sekitar tiga abad. Di lain pihak, luasnya wilayah pemasaran dan penemuan mesin uap mendorong terjadinya Revolusi Industri di Eropa pada waktu itu.

Setelah itu, bangsa Eropa mulai melakukan penetrasi ke pedalaman dengan tujuan membuka lahan untuk perkebunan dan pertanian yang nantinya secara langsung terjadi benturan dengan kebudayaan lokal. Didukung dengan persenjataan yang lebih modern, mendorong bangsa Eropa melakukan penaklukan dan dominasi terhadap bangsa pribumi yang masih cenderung primitif, baik dari segi persenjataan hingga peradaban, dan itu terjadi secara umum di seluruh belahan dunia dimana bangsa Eropa melakukan ekspansi atau perluasan wilayah.

Dan dapat disimpulkan bahwa ekspansi melalui pelayaran ini menjadi faktor revolusi komersial di Eropa karena pembukaan “lahan” baru juga dimaksudkan untuk memperluas perdagangan luar negeri dan inovasi produk.

Dampak selanjutnya setelah ekspansi melalui laut adalah migrasi besar-besaran yang terjadi dari Eropa dan Afrika menuju pada “lahan” baru di seluruh dunia, baik Asia, Amerika, Australia, serta dari Afrika menuju ke Eropa. Disebabkan karena pada “lahan” baru tersebut bangsa Eropa telah membuat bermacam-macam penemuan baru dalam upaya bertahan hidup dan semangat penyebaran sekte dalam hal ini Kristen juga menjadi pemicu migrasi besar-besaran serta kebutuhan akan pekerja dalam hal ini disebut budak untuk menjadi pekerja di perkebunan, pertanian, pertambangan di “lahan” baru tersebut.

Terbentuknya masyarakat plural memang akan dicapai sebagai dampak dari migrasi besar-besaran tersebut. Komunitas-komunitas akan terbentuk dan saling bertemu dan berbenturan dengan perbedaan pekerjaan dan status sosial yang dimanifestasikan dalam pembedaan rasial berdasar faktor ciri kebudayaan seperti bahasa dan agama -Nasrani-.

Dapat dikatakan pada umumnya bahwa dalam masyarakat kolonial hanya terdapat dua komunitas, yaitu bangsa kulit “putih” dan pribumi, padahal lebih banyak lagi karena faktor pendatang dalam hal ini pedagang dengan inisiatif sendiri dari wilayah lain dan bahkan personal dengan darah campuran.8

Disebutkan bahwa terdapat pembedaan status sosial dalam masyarakat plural yang menimbulkan dominasi atau mewujudkan superioritas orang kulit putih dalam segala aspek kehidupan, dari keagamaan, ekonomi, politik, serta dalam bidang hukum. Hingga akhirnya terdapat pembedaan harga kehidupan. Maksudnya adalah bahwa hidup orang-orang tertentu lebih berharga daripada hidup orang-orang lain.9


Periode II. Sejarah Perbudakan

Perbudakan adalah status atau keadaan seseorang yang kepadanya dilaksanakan setiap dari kekuasaan-kekuasaan atau semua kekuasaan yang melekat pada hak atas pemilikan. Perdagangan budak mencakup semua perbuatan yang terlibat dalam penangkapan, perolehan atau peraturan terhadap seseorang dengan tujuan menurunkan dia pada perbudakan, semua perbuatan yang terlibat dalam perolehan seorang budak dengan tujuan menjual atau mempertukarkan dia; semua perbuatan pemberian dengan penjualan atau pertukaran terhadap seorang budak yang diperoleh dengan tujuan dijual atau dipertukarkan, dan, pada umumnya, setiap perbuatan memperdagangkan atau mengangkut para budak.10

Abad 15 sampai abad 16 terjadi migrasi besar-besaran oleh bangsa Eropa menuju ke Amerika. Membuka lahan dengan komoditas baru untuk pemenuhan permintaan pasar yang terbentuk setelah proses kolonialisasi sebelumnya. Konsekuensinya adalah kebutuhan budak untuk menjadi pekerja menjadi sangat tinggi. Sehingga, dapat diperkirakan sekitar 11 juta budak Afrika menjadi pekerja di lahan-lahan, pertambangan, dan usaha-usaha lainnya di lahan baru yaitu Amerika baik di bagian utara dan selatan.

Pembukaan lahan-lahan baru di daerah koloni untuk eksploitasi sumber daya alam memicu ledakan kebutuhan akan pekerja. Dan dari sinilah paham kapitalisme mulai terjadi. Sejarah perdagangan dunia dimulai. Kebutuhan akan keuntungan yang besar, energi yang murah, sumber daya alam yang murah, dan buruh yang murah menjadikan bangsa Eropa yang melakukan ekspansi bertanggungjawab terhadap migrasi besar-besaran dari Afrika ke Amerika dan seluruh penjuru dunia.

Budak-budak Afrika yang diperjualbelikan menjadi bisnis yang sangat menguntungkan selain bisnis komoditi pada waktu itu. Segitiga Emas jalur perdagangan budak yaitu Afrika-Eropa-Amerika terbentuk dengan kejam diatas HAM.

Tahun 1562 sampai 1807, bangsa Eropa yang telah melakukan kolonialisasi di Afrika Barat memaksa budak kulit hitam untuk bermigrasi, bukan sebagai manusia tetapi sebagai komoditas yang akan dibawa ke Amerika. Budak-budak kulit hitam itu dimasukkan ke dalam kapal dengan kondisi yang menyedihkan, berhimpitan, kelaparan. Kebanyakan dari mereka menderita penyakit hingga kematian karena tidak adanya perawatan dan juga anggapan bahwa budak adalah binatang yang tidak ada nilainya sama sekali kecuali hanya tenaganya saja.

Pulau Goree dalam bahasa Perancis dan Ila de Palma dalam bahasa Portugis, adalah sebuah pulau kecil di Senegal menjadi saksi bisu penderitaan jutaan bangsa Afrika (15-20 juta) selama empat abad lamanya. Pulau ini menjadi tempat penampungan budak Afrika sebelum dikirim ke Eropa dan Amerika.

Pengumpulan bangsa Afrika yang akan dijadikan budak tidak seperti dibayangkan dengan pendaftaran atau sebagainya, melainkan bangsa Eropa menangkapi bangsa Afrika baik laki-laki, perempuan, dan anak-anak layaknya berburu binatang. Dijerat, diambil paksa, diburu habis-habisan oleh orang-orang bayaran bangsa Eropa pada waktu itu.

Selain penangkapan secara paksa, bangsa Eropa juga melakukan perdagangan manusia. Mereka membawa komoditas murah seperti kapas, alkohol, tembaga dari Eropa yang dibawanya ke Afrika untuk ditukar dengan budak-budak Afrika. Saat penangkapan ini, orang-orang Afrika dalam keadaan sehat-sehat. Tapi, sekitar enam juta manusia meninggal karena kelaparan, sakit, dan tidak tahan penderitaan di penampungan dan perjalanan ke Eropa dan Amerika dalam kapal mengarungi Samudera Atlantik. Budak-budak itu diangkut dengan kapal kayu yang besar dengan leher, kaki, dan tangan yang diikat rantai denagn bola besi seberat lima kilogram selama tiga sampai empat bulan pelayaran.

Upaya Pembebasan Budak Di Eropa dan Amerika

Tahun 1771, dihadapkan dengan Keputusan Hakim Agung Mansfield Inggris, para pedagang dan pencari budak mulai dihentikan kegiatannya memperdagangkan manusia. Budak-budak tidak dapat dibawa masuk ke Inggris adalah satu momentum dimana sejarah pembebasan perbudakan dimulai. Menjelang akhir abad 18, perbudakan menjadi masalah yang kompleks di Inggris, sehingga muncul gerakan anti perbudakan dengan juru bicaranya William Wilberforce dengan beberapa orang tokoh humanis lain.

Perdagangan bebas, usaha swasta, kebebasan individu, dan penghapusan perbudakan bersatu dalam seperangkat prinsip sosial, politik, dan ekonomi sehingga pada 1807 di Inggris terjadi pelarangan perdagangan budak dan pada 1883 dibebaskannya semua budak.

Kasus di Inggris lalu menyebar ke Amerika Serikat sebagai pengimpor budak terbesar, pada tahun 1808, undang-undang di Amerika Serikat melarang perbudakan, namun sistem perbudakan masih tetap ada dan melembaga sampai tahun 1860-an setelah Perang Saudara dengan tokohnya adalah Abraham Lincoln.11

Perbudakan telah menjadi suatu fenomena yang umum di Amerika, berbagai macam pekerjaan telah menjadi konsekuensi migrasi secara paksa ke Amerika. Baik menjadi pekerja kebun, tentara, pertambangan, sampai pada korban pada upacara ritual keagamaan. Namun, di Amerika Serikat bagian selatan, para budak ini difokuskan pada kerja perkebunan terutama tembakau dan kapas. Dan eksploitasi perbudakan yang tidak manusiawi ini terjadi di Amerika Serikat yang telah menjadi negara selama dua belas periode kepresidenan disana. Dan perdebatan masalah perbudakan ini masih selalu panas sepanjang masa itu sampai pada puncaknya pada masa Perang Saudara di Amerika Serikat.

Di Amerika Serikat bagian selatan, upaya pembebasan budak memang gencar dilakukan yang dimanifestasikan ke dalam Undang-Undang di setiap negara bagian. Dan upaya itu muncul sebagai jawaban dari semakin banyaknya tuntutan dalam hal pembeasan budak atas nama kemanusiaan, dan Abraham Lincoln ada dibalik itu semua.

Berbeda dengan bagian Selatan, bagian Utara yang maasih sangat membutuhkan tenaga budak-budak dengan alasan kapitalisme. Sehingga bagian Utara membentuk suatu perlawanan terhadap perjuangan nasib budak di Selatan. Abraham Lincoln mulai membentuk pasukan untuk melawan bagian Utara atas dasar kemanusiaan. Yang akhirnya pada 1862 meletus Perang Saudara di Amerika Serikat antara bagian Selatan dan Utara yang dimenangkan pasukan bentukan Lincoln. Dan pada tanggal 1 Januari 1863, terdapat proklamasi bahwa semua budak-budak belian di negara-negara bagian bebas sebagai manusia. Titik tolak ini juga menjadi titik awal dimana kebebasan diperjuangkan.

Dua tahun kemudian, pada 1864, bagian Selatan Amerika Serikat mulai meletakkan senjata untuk mengakhiri Perang Saudara dan sekaligus menghapus perbudakan di Amerika Serikat atas gagasan Abraham Lincoln. Berakhirnya Perang Saudara juga sebagai upaya penyelamatan keutuhan negara Amerika Serikat itu sendiri.

Upaya Lanjutan di Eropa dan Afrika

Pada tahun 1831, ada sebuah perjanjian antara Inggris dan Brazil yang bersepakat dalam pelarangan perbudakan, namun perbudakan masih tetap berjalan berpuluh-puluh tahun kemudian hingga tahun 1881 baru perbudakan dihapuskan di Brazil. Tahun 1807 sampai 1869 diadakan patroli di sepanjang garis pantai Afrika untuk menghentikan perdagangan manusia ini dan nama David Livingstone dikenal dalam proses ini. Akhir abad 19, perbudakan mulai berhenti di seluruh dunia dan menandai berakhirnya sejarah panjang ekspansi bangsa Eropa. Namun, sejarah panjang telah diukir, sejarah kemanusiaan dan kebebasan sudah dimulai. Tidak heran jika titik acu peradaban manusia di seluruh dunia mengacu pada Eropa dan Amerika.

Disusul oleh Konvensi Perbudakan yang diselenggarakan di Jenewa, Swiss pada tanggal 25 September 1926. Usaha ini ditandatangani oleh negara-negara yang berpartisipasi dalam General Act dalam Konferensi Brussel pada tahun 1889-1890 yang menginginkan sistem perbudakan dalam segala bentuk baik di darat ataupun di laut untuk segara diakhiri. Konvensi ini menghasilkan tujuh pasal yang mengatur tentang perbudakan.

Terakhir adalah Konvensi Pelengkap tentang Penghapusan Perbudakan, Perdagangan Budak, danLembaga dan Praktek Serupa dengan Perbudakan di Jenewa pada tanggal 7 September 1956 yang menjadi pelengkap konvensi sebelumnya dengan pemutakhiran peraturan-peraturan di dalamnya.

Untuk sekedar mengingatkan, sebuah kutipan dari pernyataan Vandana Shiva yaitu, “Kolonialisasi lama hanya merampas tanah sedangkan kolonialisasi baru merampas seluruh kehidupan”. Dari pernytaan tersebut di atas, harapan ke depan ada sebuah upaya-upaya pencegahan maupun pembenahan sedini mungkin dari segala stake holder masyarakat, sehingga bentuk perbudakan dan kolonialisasi tidak berulang dan bertransformasi serta semakin mendominasi kehidupan.



1. Budiman, Arif. Sosiologi Dunia Ketiga

2. Pandjang Soegihardjono dan Eva Agustinawati. .Sosiologi Pembangunan.( Surakarta: UNS Press,1999) hal. 58

3. Jurnal Ekonomi Rakyat, Notulensi Seminar Seri V : Sejarah vs Politik Pertanian, 13 Maret 2002

4. Budiman, Arif. Sosiologi Dunia Ketiga

5. Budiman, Arif. Sosiologi Dunia Ketiga

6. Budiman, Arif. Sosiologi Dunia Ketiga

7. Ibid, hal. 80-81

8. Budiman, Arif. Sosiologi Dunia Ketiga

9. Ibid, hal. 98-99

10. Pasal 1 dan 2 Konvensi Perbudakan. Jenewa, 25 September 1926

11. Abraham Lincoln adalah Presiden Amerika yang ke-16 dengan masa jabatan 1861-1865. Abraham Lincoln juga dikenal sebagai Abe Lincoln dan menggunakan nama julukan Honest Abe, Rail Splitter, dan Great Emancipator.

Daftar Pustaka

- Journal History of International Migration. Universiteit Leiden, Mei 2008

- Jurnal Ekonomi Rakyat, Notulensi Seminar Seri V : Sejarah vs Politik Pertanian, 13 Maret 2002

- Jurnal Kajian Wilayah Eropa, Volume II. Universitas Indonesia, 2006

- africanhistory.about.com

- balitbangham.go.id/PERANGKAT%20INTERNASIONAL/Konvensi/10%20Konvensi%20Perbudakan.doc

- M. Henslin, James. 2007. Sosiologi Dengan Pendekatan Membumi Edisi 6 Jilid I. Erlangga. Jakarta

- Laeyendecker. 1983. Tata Perubahan, Suatu Pengantar Sejarah Sosiologi. Gramedia. Jakarta

- Budiman, Arif. Sosiologi Dunia Ketiga

- Pandjang Soegihardjono dan Eva Agustinawati. 1999. Sosiologi Pembangunan. UNS Press. Surakarta

- www.africanaonline.com/slavery_introduction.htm



Sumber: Tugas Mata Kuliah Teori Sosial Politik, Sosiologi FISIP UNS, Oleh; Maulana Kurnia Putra

Selasa, 22 Desember 2009

Diagramatikal Perkembangan Tujuan dan Alat-Alat Pemerintah

Perlindungan ---> Ketertiban ----> Keadilan


Kekuatan ---> Kekuasaan ---> Kewibawaan

Skema di atas adalah bagan yang dibuat berdasarkan analisa Leslie Lipson dalam bukunya yang berjudul The Great Issues of Politics, yang isinya menganalisa tentang tujuan negara yang berbanding lurus dengan perkembangan dan pertumbuhan alat-alat negara itu sendiri dalam mencapai tujuannya.

Alat-alat negara adalah suatu faktor yang penting dan tidak dapat diabaikan jika melihat tujuan negara itu sendiri, karena dengan alat-alat itu negara dapat berjalan mencapai tujuannya yang dicia-citakan. Dan negara juga tidak bisa menhalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya, namun juga harus bersifat etis.

Fungsi negara pada pokoknya adalah fungsi perlindungan yang pada awalnya negara dibentuk oleh individu-individu yang membutuhkan perlindungan. Dan negara akan tetap dipelihara untuk mempertahankan fungsi perlindugan terhadap individu-individu di dalamnya. Dan pada akhirnya, perlindungan mempunyai hubungan kausalitas terhadap pembentukan negara.

Perlindungan yang dimaksudkan juga tidak hanya perlindungan secara fisik saja. Namun karena sifat manusia dengan kepemilikan dan faktor ekonomi juga sangat mempunyai pengaruh, dan itu juga membutuhkan perlindungan dari negara. Maka dari itu, negara haruslah membentuk ketertiban melalui perlindungan itu agar individu-individu di dalamnya dapat menjalankan usaha-usahanya secara bebas tanpa gangguan.

Namun dalam berjalannya kedua fungsi negara tersebut harus didasari dengan keadilan. Maksudnya adalah fungsi negara mengalami pergeseran dan perkembangan dari pemberian perlindungan dan pemeliharaan ketertiban yang berdasarkan keadilan.

Berjalan beriringan dengan pergeseran tujuan negara, maka bergeser pula alat-alat negara untuk memenuhi tujuannya itu. Tujuan pertama adalah perlindungan, maka dalam untuk memenuhi tujuan itu, negara membutuhkan alat yang bernama kekuasaan. Perlindungan harus memiliki kekuatan, pendek kata tanpa kekuatan, tidak ada perlindungan. Kekuatan ini harus dipegang oleh negara, bukan yang lain, jika tidak maka keamanan dan stabilitas negara akan terancam bahkan terguncang bahkan akan menghancurkan negara itu sendiri.

Namun kenyataannya, kekuatan ini belum dapat menstabilkan daya pemaksa negara itu sendiri karena kekuatan ini harus mendapatkan persetujuan dari individu-individu yang dilindungi itu sendiri, dalam hal ini adalah rakyat. Dengan konsensus tersebut, rakyat dapat dengan sukarela mentaati kekuasaan negara dan menggeser kekuatan menjadi kekuasaan.

Dalam bukunya itu pula, individu-individu dalam negara dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:

a. wakil rakyat dan pegawai negara

b. pengikut wakil negara

c. penentang

Di atas diterangkan bahwa negara harus mendapat persetujuan dari rakyat, namun tidak semua rakyat melaksanakannya, hanya kategori pertama dan kedua saja dari penggolongan di atas. Negara tidak mendapatkan persetujuan dari golongan penentang yang cenderung melawan. Maka dari itu, negara harus mempunyai sifat kewibawaan yang akan membuat kekuasaan negara diterima oleh semua golongan yang ada dalam negara itu sendiri. Sifat itu adalah kewibawaan.

Sifat kewibawaan menurut Lipson memberi legalitas kepada kekuasaan itu. Kewibawaan membuat semua elemen yang ada, baik pengikut atau penentang mentaati kekuasaan negara itu, dan segala bentuk perlawanan dilihat sebagai tindakan-tindakan melawan hukum.

Bergesernya tujuan negara juga membuat bergeser pula alat-alat yang diperlukan untuk mencapai tujuannya itu. Dan perkembangan tujuan dan alat-alat akan selalu berjalan beriringan.


Daftar Pustaka

Isjwara. 1982. Pengantar Ilmu Poltik. Binacipta. Bandung


Sumber: Tugas Mata Kuliah Pengantar Ilmu Politik, Sosiologi FISIP UNS, Oleh; Maulana Kurnia Putra


Kamis, 19 November 2009

Paradigma Islam, Kritik Serta Jawaban

PARADIGMA ISLAM, KRITIK SERTA JAWABAN PERJALANAN MENUJU PUNCAK PERADABAN

Maulana Kurnia Putra

Memahami Kembali Konsepsi Kebenaran dan Kemajuan

Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (Q.S 31:27). Sebuah kalimat agung yang mendeskripsikan tentang keluasan kebenaran ilmu Allah Swt..

William James, seorang tokoh pragmatis dari Amerika Serikat berkata bahwa kebenaran itu adalah suatu hal yang benar dan harus berguna, dalam hal ini adalah hal-hal praktis. Dia tidak menghalalkan ide dan rasionalitas serta wahyu.

Padahal tidak, Islam tidak demikian. Islam memandang semua yang datang dari Allah Swt. adalah kebenaran (Q.S 2:147) yang valid tanpa ada error di dalamnya. Al Qur’an dan Al Hadist, dua sumber fundamental dari semua yang telah, sedang, dan akan terjadi.

Ilmu pengetahuan pada awamnya yang selalu bertambah dan berkembang, seperti teknologi, ilmu fisika, kedokteran, biologi, dan sebagainya akan tetap dikritisi nantinya dengan penemuan-penemuan baru. Oleh karena itu, saya sebut dengan kemajuan, karena selalu berkembang dari waktu ke waktu.

Berbeda dengan kebenaran yang tidak akan bertambah ataupun berkurang. Kebenaran dalam keyakinan seorang muslim haruslah diambil dari Al Qur’an yang dibantu Hadist sehingga dapat diterima dari masa ke masa. Dari sinilah mengapa seorang muslim diwajibkan mengembalikan semua urusan kepada Al Qur’an dan Hadist.

Al Qur’an Sebagai Kumpulan Kebenaran

Al Qur’an, orang awam hanya membedakan ayat-ayat di dalamnya berupa ayat qauliyah dan qauniyah, namun, saya memberanikan diri untuk menambahkan satu jenis ayat lagi yaitu nafsiyah. Yang dari ayat-ayat nafsiyah ini muncul kebaikan-kebaikan akhlak pada diri setiap muslim. Al Qur’an itu sendiri juga mempunyai dua bagian. Bagian pertama adalah berisi konsep-konsep dan yang kedua berisi kisah-kisah dan amtsal.

Pada bagian pertama, konsep-konsep itu sendiri merujuk pada doktrin etik, aturan legal, pengertian normatif, dan aturan ibadah. Istilah-istilah di dalamnya juga mungkin diangkat dari konsep-konsep yang telah ada pada masyarakat Arab dan Timur Tengah sejak sebelum Muhammad Rasulullah Saw. dan juga konsep baru untuk penyempurnaan pada tubuh Islam itu sendiri.

Bagian kedua adalah kisah-kisah dan amtsal, disini kita diajak oleh Allah Swt. untuk tidak sekedar meyakini secara tekstual, namun dengan kontemplasi peristiwa historis dan metafor-metafor kita bisa lebih mengerti dan memahami tentang makna kehidupan melalui ayat-ayat yang bermakna trasendental.

Dengan dua bagian tersebut, maka Islam dijadikan sebagai suatu mekanisme besar tentang sistem paripurna yang sempurna utnuk mengatur peradaban mutakhir manusia (Q.S 5:3).

Ayat-ayat dalam Al Qur’an saya katakan adalah kumpulan kebenaran, karena wawasan epistemologisnya yang berumur sebelum manusia (peradaban) itu sendiri ada. Kritik dan petunjuk segala peradaban dan segala kejadian, telah terangkum di dalamnya tanpa kekurangan.

Paradigma Islam dan Ilmu Pengetahuan Berparadigma Islam

Sejarah panjang feodalisme dunia pada abad pertengahan yang dilakukan bangsa Mongol terhadap Timur Tengah yang menjadi puncak peradaban manusia dengan Islam sebagai paradima hidup, telah memusnahkan manuskrip-manuskrip ilmu pengetahuan berparadigma Islam. Jutaan manuskrip dan tulisan-tulisan ilmuwan besar hilang dan hanyut. Sebagian yang lain dibakar dalam gedung-gedung perpustakaan. Kejahatan yang sangat kejam terhadap ilmu pengetahuan.

Setelah ekpansi besar bangsa Mongol, Renaisans abad pertengahan di Eropa dengan kebebasan berpikirnya telah menjadi puncak dan tolok ukur peradaban manusia menggantikan Islam. Dan tidak heran jika semua ilmu pengetahuan berparadigma dan berorientasi dari Eropa dan Barat. Ironinya, sekuleritas menjadi konsekuensi logis dari semua itu.

Jika umat muslim memiliki Harun Yahya di luar negeri, maka di dalam negeri kita memiliki Kuntowijoyo. Jika Harun Yahya berfokus pada Sains, maka Kuntowijoyo berfokus pada sosial. Beliau berdua menerobos dan menghentak kesadaran ilmuwan-ilmuwan yang berparadigma bukan Al Qur’an dengan menawarkan melihat dan mengembalikan segala kejadian ke Al Qur’an dan Hadist. Dengan kata lain dari konteks ke teks.

Pelopor-pelopor tersebut di atas berusaha membangun paradigma baru “tapi lama”, yaitu paradigma Islam. Paradigma Islam muncul untuk meluaskan kembali ajaran Islam bukan hanya sekedar aturan ibadah semata, namun juga sebagai kacamata kita melihat dan menata dunia.

Integralisme muncul untuk menyatukannya, ilmu yang menyatukan wahyu Tuhan dan temuan pikiran manusia pun tidak akan mengucilkan Tuhan seperti yang dilakukan penganut sekuler ataupun mengucilkan manusia. Integralisme muncul sebagai upaya untuk sekaligus menyelesaikan konflik berkepanjangan antara sekuleris dan agama radikal. Integralisme muncul dengan sebuah paradigma baru dalam ilmu pengetahuan yaitu paradigma Islam.

Pemahaman Trasendental Makna Al Qur’an Sebagai Ijtihad

Seseorang yang mempelajari ilmu-ilmu alam dan orang itu beriman, seorang mahasiswa kedokteran atau fisika misalnya, mereka tidak banyak memiliki permasalahan dengan aspek muamalah dari agama, karena orientasi mereka adalah ilmu pasti. Seorang yang belajar ilmu alam akan menerima agama sebagaimana adanya, layaknya mereka menerima hukum alam. Berbeda dengan seorang yang belajar ilmu kemanusiaan dan beriman akan merasakan pengaruh yang besar terhadap realitas yang dihadapakan dengan agama secara tekstual.

Di sinilah posisi terpenting pemahaman makna trasendental Al Qur’an. Al Qur’an itu sendiri turun dengan sebab-sebab tertentu pada zaman Nabi Saw. di abad ke 7 Masehi. Namun Al Qur’an masih dapat dipakai dan diyakini sebagai pedoman hidup hingga akhir zaman. Bagaimana mungkin ayat yang turun berdasarkan sebab sosio-historis berabad-abad yang lalu masih dapat dipakai hingga akhir zaman dan diyakini kebenarannya? Suatu tanda kebesaran Allah Swt..

Al Qur’an mengajarkan kisah-kisah dan amtsal pada diri seorang muslim untuk dapat ditarik pelajaran-pelajaran moral dari peristiwa historis yang abadi-universal. Pesan-pesan moral yang menembus ruang dan waktu, yang mempunyai kekuatan dominasi melakukan perubahan besar pada level individu dan masyarakat. Cita-cita Islam sendiri di bidang kemasyarakatan adalah menciptakan masyarakat yang adil dan egaliter yang berdasar iman.

Namun, agaknya umat muslim sendiri masih belum peka terhadap perubahan-perubahan yang secara sosio-kultural. Dan struktur trasendental dari Al Qur’an itu sendiri akan sangat bermanfaat untuk menyatukan (integralisasi) ilmu pasti, ilmu kemanusiaan, dan agama. Dan dengan itu umat muslim disadarkan adanya perubahan dan menjadi jawaban untuk tetap mengikuti perubahan tanpa kehilangan Islam itu sendiri sebagai agama yang sempurna atau kaffah.

Dengan pemahaman yang berparadigma Islam untuk melihat segala sesuatunya, termasuk di dalamnya perubahan-perubahan signifikan, sebuah ijtihad yang -insya Allah- menjadi jalan keluar agar Islam menjadi puncak peradaban lagi. Diperlukan suatu adaptasi dari orientasi individu ke arah sosiologis. Memang benar bahwa orientasi pembelajaran yang individual itu diperlukan, namun aspek muamalah dilihat lebih efektif untuk menjadi ijtihad mengenalkan kembali kebenaran Islam terhadap dunia. Bentuk adaptasi yang dibutuhkan adalah berupa kesadaran dari umat muslim itu sendiri. Sejalan dengan pendapat Kuntowijoyo, terdapat enam kesadaran yang dibutuhkan, yaitu: kesadaran adanya perubahan, kesadaran kolektif, kesadaran sejarah, kesadaran adanya fakta sosial, kesadaran adanya masyarakat abstrak, dan kesadaran perlunya objektifikasi.

Konsepsi 3 M Aa’ Gym, Cambuk Intropeksi Diri

Mulai dari diri sendiri, mulai dari hal yang kecil, dan mulai dari sekarang. Konsep modal awal perubahan yang ditawarkan Aa’ Gym ini harusnya menjadi jargon pada setiap agen-agen perubahan Islami. Memaksa khalayak untuk menjadi seperti yang diimpikan, namun tidak dari dirinya sendiri perubahan itu dilakukan adalah sangat mustahil.

Saudaraku seiman, mari kita sejenak merenung dengan segala kerendahan hati. Apa yang bisa kita haturkan kepada Rabb setelah selesai sholat sebagai tanda penghambaan kita terhadap-Nya? Apakah kita hanya meminta dan terus meminta? Lantas apa makna khaliq, makhluk, serta akhlaq? Sungguh Allah Swt. tidak membutuhkan makhluknya, karena keagungan telah menjadi hanya milik-Nya.

Dengan kerendahan hati itu pula kita dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang kita renungkan tadi dengan belajar (mencari ilmu) dari kebenaran. Bukan hanya dari seorang ustadz, kyai, ataupun da’i namun juga dari seorang preman dan pelacur serta alam sekalipun kita dapat mendekat dengan sang Pencipta melalui ilmu. Dan juga surga bukan milik golongan, melainkan hanya milik Allah Swt. yang berhak menetukan siapa yang masuk dan kekal di dalamnya. Renungkanlah, Saudaraku.....

Teringat sebuah kalimat dari Bung Karno bahwa, pentingnya api Islam, bukan abunya. Karena pentingnya esensi, dan esensi Islam adalah rahmatan lil ‘alamin bukan hanya rahmatan lil muslimin. Pesan ini hanya bisa dicapai dengan ketinggian akhlaq, tidak dengan teror dan bentuk kekerasan lainnya. Hendaknya esensi ini perlu ditanamkan kembali sebagai modal untuk belajar dan berijtihad dalam menjadikan Islam menaungi peradaban manusia di bumi Allah ini. Amin.

Maulana Kurnia Putra

Jumat, 09 Oktober 2009

Realita Tradisi Mbecek dan Jelitan Kemiskinan di Ngrayu Ponorogo

I. Pendahuluan

Ponorogo sebagai kota yang terkenal dengan budaya Reognya, ternyata juga memiliki banyak budaya atau tradisi lainnya. Tradisi yang tidak kalah pengaruhnya didalam masyarakat desa utamanya di Ponorogo adalah tradisi mbecek. Tradisi mbecek merupakan kebiasaaan masyarakat setempat memberikan bantuan berupa bahan-bahan makanan pokok dan atau uang kepada warga masyarakat yang memiliki hajat, baik itu pernikahan ataupun khitanan. Pada prinsipnya aktifitas mbecek ini sama dengan aktifitas gotong royong yang lain, yaitu adanya keinginan untuk saling membantu. Akan tetapi perbedaanya terletak pada konseptualnya.

Tradisi mbecek sering kali diartikan sebagai pemberian bantuan baik berupa barang dan atau uang kepada pihak yang sedang menyelenggarakan hajat atau pesta. Adapun bentuk sumbangan yang berupa barang diantaranya adalah beras, gula, kentang, mie, roti, pisang, kelapa, boncis, dan lain sebagainya. Sumbangan yang berupa barang tersebut bisanya adalah kebutuhan pokok yang dibawa oleh kaum wanita disamping uang, sedangkan laki-laki berupa uang saja.

Pelaksanaan pesta perkawinan ataupun khitanan yang ada didesa seringkali tidak terlepas dari aktifitas aktifitas mbecek merupakan kebiasaan yang tidak bisa ditinggalkan. Hubungan sosial anggota masyarakat yang memberikan bantuan atau sumbangan tidak semata-mata karena keikhlasan hati akan tetapi ada hal yang diinginkan yaitu adanya keinginan untuk mendapatkan pengembalian yang setimpal dari usaha yang telah diberikan (sumbangan) ketika suatu saat anggota masyarakat yang menyumbang tadi menggelar hajatan (resiprositas).

Tradisi mbecek merupakan suatu bentuk gotong royong yang lebih spesifik mengingat kegiatannya lebih banyak dilakukan oleh para penduduk di pedesaan dengan bentuk yang berbeda dengan tradisi yang lain. Tradisi mbecek banyak melibatkan orang yang mana masing-masing orang memiliki peran yang berbeda. Ada yang berperan membantu keluarga yang menggelar hajatan (saudara dan tetangga) dan ada yang berperan sebagai penyumbang (tetangga, saudara, sahabat, teman dan kenalan). Melihat banyaknya orang yang terlibat didalam aktifitas mbecek ini maka dimungkinkan banyak uang, tenaga dan fikiran yang terkuras dalam menggelar acara hajatan tersebut. Terkurasnya fikiran, tenaga dan dana dapat dilihat dari waktu dan proses kegiatan yang cukup lama. Rata-rata seseorang yang menggelar acara hajatan membutuhkan waktu satu minggu untuk kegiatan ini.

Waktu yang sedemikian panjang digunakan dalam tiga tahap, yaitu tahap sebelum hari H, waktu hari H dan setelah hari H. Masing-masing tahapan membutuhkan waktu minimal dua hari. Penggunaan waktu dua hari dimasing-masing tahapan akan mengakibatkan waktu, tenaga dan hari kerja dari para tetangga dan saudara akan tersita untuk membantu setiap proses acara. Berapa kerugian jika hal tersebut dihitung dan diuangkan?

Tradisi mbecek ini menarik untuk diteliti karena tradisi ini berbeda dengan tradisi nyumbang yang ada dikota. Tradisi mbecek yang ada di daerah pedesaan melibatkan seluruh anggota keluarga yang sudah dianggap dewasa. Dengan intensitas yang cukup sering dari tradisi mbecek inilah yang memungkinkan terjadinya resistensi dalam perekonomian keluarga. Aktifitas mbecek tidak saja berlaku untuk saudara, tetangga ataupun sahabat, akan tetapi juga berlaku untuk saudara dari tetangga yang belum tentu dikenal dengan baik. Dengan adanya fenomena semacam itu maka peneliti ingin mengetahui apakah yang melatarbelakangi dari pelestarian tradisi mbecek dan apakah tradisi tersebut masih relevan untuk lestarikan.

Rumusan masalah dari penelitian yang kami lakukan adalah “Bagaimanakah realita masyarakat dalam menyikapi tradisi mbecek dan jelitan kemiskinan yang terjadi di Desa Temon, Kelurahan Ngrayu, Kabupaten Ponorogo?” Sehingga tujuan penelitian ini adalah “Mengetahui realita masyarakat dalam menyikapi tradisi mbecek dan jelitan kemiskinan yang terjadi di Desa Temon, Kelurahan Ngrayu, Kabupaten Ponorogo.” Dan manfaat yang diharapkan dari penelitian yang dilakukan adalah menjadi bahan pertimbangan dalam masyarakat, apakah tetap ingin melestarikan tradisi mbecek atau ingin menggantinya sebagai wujud solidaritas.

II. Metode Penelitian

Teori yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah teori pertukaran sosial (resiprositas). Teori pertukaran sosial berdasarkan prinsip transaksi ekonomi elementer, yaitu seorang individu menyediakan barang atau jasa dan sebagai imbalannya berharap memperoleh barang atau jasa yang sesuai dengan apa yang telah diberikan (diinginkan). Menurut para ahli teori, pertukaran memiliki asumsi sederhana bahwa interaksi sosial itu mirip dengan dengan transaksi ekonomi. Akan tetapi mereka mengakui bahwa pertukaran sosial tidak selalu dapat diukur dengan nilai uang, sebab dalam berbagai transaksi sosial dipertukarkan juga hal-hal yang nyata dan hal-hal yang tidak nyata (Paloma, 2003 : 52).

Jenis penelitian yang dilakukan kali ini berjenis deskriptif kualitatif. Yaitu penelitian yang bermaksud untuk menguraikan mengenai suatu gejala berdasarkan pada indikator-indikator yang dijadikan dasar gejala yang diteliti (Slamet: 2006: 7). Lokasi penelitian bertempat di Desa Temon, Kecamatan Ngrayu, Kabupaten Ponorogo. Populasi penelitian adalah masyarakat Desa Temon, Kecamatan Ngrayu, Kabupaten Ponorogo, sedangkan pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling yaitu teknik pengambilan sampel yang diarahkan kepada sumber data yang dipandang mempunyai data yang penting berkaitan permasalahan yang diteliti (H.B. Sutopo, 2006 : 46).

Teknik pengumpulan data yang dipakai adalah melalui wawancara mendalam (indepth interview). Alasan menggunakan teknik ini adalah karena dapat dilakukan pada waktu dan kondisi konteks yang dianggap paling tepat guna mendapatkan data rinci, jujur dan mendalam (Sutopo, 2006:69). Selain itu, pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka berupa dokumentasi dari arsip dan media massa. Analisis data dengan menggunakan metode analisis interaktif. Model analisis dengan proses berbentuk siklus. Dalam bentuk ini peneliti tetap bergerak diantara tiga komponen analisis (meliputi reduksi data, sajian data dan penarikan simpulan/ verifikasi) dengan proses pengumpulan data selama kegiatan pengumpulan data berlangsung (Sutopo, 2006: 119).

III. Hasil Penelitian

Dari penelitian yang kami laksanakan didapatkan berupa realita masyarakat dalam menyikapi tradisi mbecek dan jelitan kemiskinan yang terjadi. Dengan diawali pemaparan terkait yaitu karekteristik masyarakat Desa Temon dan nilai-nilai yang terkandung dalam Tradisi Mbecek

Karakteristik Masyarakat Desa Temon

Masyarakat desa merupakan masyarakat dengan ciri, karakteristik dan jati diri yang unik. Unik disini dimaksudkan adalah berbeda dengan masyarakat kota atau masyarakat pinggiran kota. Hal inilah yang menjadi ciri khas tersendiri bagi masyarakat desa. Keunikan, ciri khas dan jati diri inilah yang membuat suatu desa dikenal dan memiliki arti. Dengan memiliki keunikan maka masyarakat luar dapat dengan mudah mengetahui dan memahami karakteristik dari penduduknya.

Kehidupan keseharian masyarakat desa Temon setelah selesai bekerja biasanya bersantai dengan keluarga dan tetangga. Banyaknya waktu untuk berbincang dan berkumpul menjadikan suasanya yang terbangun adalah suasana kekeluargaan.

Nilai-nilai yang Terkandung dalam Tradisi Mbecek

Penelitian merupakan suatu seni untuk memperoleh ilmu dengan metode yang berbeda-beda. Ada yang menggunakan metode wawancara, FGD (focus group discussion), ada pengamatan dan ada pula yang menggunakan metode terlibat langsung. Masing-masing metode memiliki kelebihan dan kekurangan sendiri-sendiri. Penelitian yang ingin mengetahui tentang sesuatu yang berhungan keuangan keluarga hendaknya tidak hanya mengandalkan salah satu metode saja. Hal ini dikarenakan oleh sifat dari masyarakat desa yang cenderung tertutup berkaitan dengan masalah keuangan. Jika hanya mengandalakan wawancara maka kita bisa terjebak kepada data yang tidak valid karena apa yang disampaikan tidak sesuai dengan kenyataan. Jika kita menggunakan metode FGD bisa jadi data yang kita peroleh adalah data yang bertentangan. Hal ini bisa terjadi karena masing-masing orang mempunyai pengalaman dan wawasan yang berbeda. Jika menggunakan metode pengamatan maka kita tidak bisa memperoleh data primer karena hanya berdasarkan pengamatan dan penafsiran dari pengamat. Yang paling memungkinkan untuk memperoleh data yang paling valid adalah dengan metode keterlibatan partisipatif. Hal ini dimungkinkan karena adanya hubungan emosional yang baik antar orang yang diteliti dan sipeneliti. Adanya keterlibatan dan hubungan emosional yang baik maka sangat memungkinkan data yang terekam adalah data yang sebenarnya.

Pengungkapan terhadap permasalahan yang peneliti angkat dalam rumusan masalah mengenai tradisi mbecek di masyarakat desa Temon kecamatan Ngrayun kabupaten Ponorogo, peneliti menggunakan metode yang beragam. Peneliti menggunakan metode pengamatan, FGD (focus group discassen), wawancara mendalam dan terlibat langsung. Hal ini dikarenakan peneliti pernah tinggal di sana dan mendampingi masyarakat desa Temon tersebut.

Dari hasil penelitian yang dilakukan melalui metode wawancara, focus group discassen, partisipasi dan pengamatan maka diperoleh hasil bahwa nilai yang terkandung dalam tradisi mbecek dimasyarakat desa Temon kecamatan Ngrayun adalah nilai gotong royong, nilai ketahanan ekonomi yang semakin melemah dan tidak seimbangan.

Realita Tradisi Mbecek dan Jelitan Kemiskinan Masyarakat Desa Temon Kecamatan Ngrayun

A. Tradisi Mbecek Zaman Dulu

Masyarakat merupakan sebuah sistem yang dinamis. Dikatakan sebuah sistem karena didalam masyarakat ada banyak unsur yang membentuk dan saling mempengaruhi. Ada manusia, budaya, tradisi, norma, aturan dan masih banyak yang lain. Antara satu dengan yang lain saling mempengaruhi dan terjadi proses ketergantungan, jika satu unsur tidak berfungsi maka unsur yang lain akan mengalami perubahan. Masyarakat sebagai sistem merupakan sesuatu yang senantiasa bergulir dan bergerak. Dalam aktivitas sosialnya masyarakat senantiasa bergerak, mengalami perubahan dan perkembangan.

Perubahan yang ada dalam masyarakat dapat dibagi menjadi dua yaitu perubahan kepada arah yang lebih baik dan perubahan kepada kemunduran. Perubahan kepada arah yang lebih baik inilah yang sebenarnya diinginkan oleh masyarakat, akan tetapi tidak semua apa yang diinginkan oleh masyarakat dapat tercapai. Ada kalanya perubahan yang ada dalam masyarakat mengarah kepada kemunduran, hal ini dapat dikarenakan oleh dampak dari perubahan yang tidak sesuai dengan harapan dan perencanaan.

Dalam buku Upacara Tradisional Jawa disebutkan bahwa adat istiadat adalah suatu komplek norma yang oleh individu-individu yang menganutnya dianggap ada diatas manusia yang hidup bersama dalam kenyataan suatu masyarakat (Purwadi, 2005 : 152). Adat istiadat merupakan pedoman tingkah laku untuk mengontrol setiap perbuatan manusia. Dengan adat istiadat maka anggota masyarakat terikat dalam setiap kegiatannya. Setiap perbuatan dan kegiatan yang dilakukan haruslah disesuaikan dengan adat istiadat yang berlaku. Hal ini untuk menghindari pergesekan antar anggota masyarakat.

Kegiatan gotong royong yang ada dimasyarakat desa sudah ada sejak zaman dulu. Prinsip ”paseduluran” (persaudaraan) inilah yang mendasari masyarakat desa untuk mengadakan gotong royong. Gotong royong yang dijalankan zaman dulu biasanya berupa kegiatan mengadakan hajatan, memperbaiki rumah, jembatan, jalan dan kebersihan lingkungan. Disamping itu gotong royong juga sering mereka lakukan ketika mengurus kebun dan ladang.

Mereka menilai dengan bergotong royong akan mempermudah dan lebih menghemat pengeluaran. Dizaman dulu ketika seseorang akan memperbaiki rumah maka orang yang punya rumah cukup memberi kabar ”ngaturi” kepada para tetangga, dengan begitu para tetangga diwaktu yang telah ditentukan akan beramai-ramai untuk membantu proses pembuatan rumah. Ada yang membantu dalam memasang batu bata, ada yang membantu mempersiapkan material dan ada juga yang mempersiapkan kayu dan ada pula yang membantu memasak. Kegiatan yang dilakukan tergantung dari keahlian masing masing orang. Kegiatan ini berjalan dengan dinamis dan penuh dengan suka cita. Hal ini terlihat dari kebersamaan dan canda tawa diantara mereka.

Kegiatan tolong menolong diantara mereka disamping dalam bidang sosial juga merambah kepada bidang ekonomi. Dalam bidang ekonomi gotong royong terlihat dari adanya saling membantu dalam memenuhi kebutuhan untuk menggelar hajatan. Jika ada tetangga, saudara dan teman yang mengadakan hajatan maka para tetangga beramai-ramai membantu dengan memberikan bantuan berupa bahan kebutuhan untuk menggelar hajatan tersebut. Bantuan yang diberikan biasanya berupa barang kebutuhan pokok dan atau uang. Bantuan berupa barang kebutuhan pokok diharapkan dapat membantu ”nyengkuyung” lancarnya prosesi hajatan yang digelar. Bantuan-bantuan yang diberikan oleh warga masyarakat disekitar lingkungan tinggal mempunyai maksud agar apa yang sudah mereka upayakan dan lestarikan selama ini dapat terjaga. Keinginan untuk melestarikan budaya mbecek dilandasi oleh keinginan untuk menjaga “nguri-nguri” tradisi dan budaya warisan leluhur. Mereka meyakini bahwa tradisi-tradisi warisan para leluhur merupakan sesuatu yang akan membawa mereka kepada rasa kebersamaan, keharmonisan dan kekeluargaan yang telah menjadi prinsip dan slogan hidup mereka.

Mereka sangat percaya dengan adanya kebersamaan dan gotong royong maka segala sesuatu akan dapat mereka selesaikan. Prinsip inilah yang melekat dan menjadi jati diri warga desa Temon. Prinsip inilah yang juga berlaku didalam kegiatan sosial dan ekonomi termasuk dalam kegiatan mengadakan hajatan. Dalam menggelar hajatan mereka sangat mengandalkan bantuan dari para tetangga dan saudara dekatnya. Hal ini dilakukan untuk memperingan dan mempermudah jalanya acara yang akan dilaksanakan. Dengan adanya kebersamaan dan gotong royong diantara mereka maka kegiatan hajatan pasti akan berjalan lancar dan sukses.

B. Mbecek Zaman Sekarang

Perubahan merupakan sebuah keniscayaan dari proses kehidupan. Silih bergantinya perputaran roda kehidupan menjadikan perubahan merupakan sebuah keniscayaan. Perubahan yang terjadi seiring berjalannya waktu juga berimbas pada berubahnya nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Nilai-nilai yang dulu dianggap tabu sekarang mulai luntur berkat perubahan dan difusi kebudayaan. Inilah yang sering disebut dengan pengaruh globalisasi. Dunia seakan menjadi kampung besar yang tidak ada pembatasnya. Setiap detik kita dapat mengatahui perubahan dan kejadian dibelahan bumi yang lain. Ini adalah salah satu konsekuensi dari adanya globalisasi.

Perubahan yang terjadi dengan pola pikir dan nilai-nilai yang dianut oleh warga masyarakat juga membuat perubahan dalam setiap lini kehidupan warga masyarakat. Perubahan sebagai konsekuensi dari globalisasi juga dialami oleh warga masyarakat desa. Adanya televisi, radio dan alat komunikasi yang sudah cukup canggih menjadikan budaya luar bisa dengan sangat mudah masuk dan mempengaruhi pola perilaku dari masyarakat desa.

Perubahan perilaku dan kebiasaan dari masyarakat juga berimbas pada perubahan persepsi mengenai pandangan tradisi yang selama ini mereka anut. Tradisi mbecek yang berkembang akhir-akhir ini ada pola pergeseran yang cukup menonjol. Perubahan dan pergeseran yang ada dapat dilihat dari beberapa hal. Perubahan niat dan tata cara. Perubahan niat inilah yang saat ini sangat menonjol. Dulu ketika seseorang menggelar hajatan adalah dalam rangka mengumpulkan saudara, tetangga dan teman untuk bersama-sama menikmati anugerah yang diberikan oleh Allah SWT, akan tetapi untuk sekarang ini kebanyakan dari orang yang menggelar hajatan adalah untuk memperoleh sumbangan dari tetangga, saudara, teman dan kenalan yang hasil dari perolehan sumbangan nantinya digunakan untuk keperluan hidup atau membeli barang-barang kebutuhan.

Pergeseran niat inilah yang menyebabkan seseorang dalam menggelar hajatan tidak/kurang dalam mempersiapkan segala kebutuhannya. Dulu ketika akan menggelar hajatan jauh-jauh hari sudah mempersiapkan ”klumpuk-klumpuk” segala sesuatunya mulai dari barang-barang sembako dan alat-alat untuk pagelaran hajatan. Berbeda dengan zaman sekarang yang kebanyakan orang yang akan menggelar hajatan belum mempunyai modal yang cukup atau bahkan tidak memiliki apa-apa. Barang-barang yang akan digunakan untuk kebutuhan hajatan biasanya dipinjam terlebih dahulu dari toko atau meminjam uang kepada saudara atau para pengusaha sebagai modal.

Hal inilah yang menyebabkan seseorang yang mengadakan acara hajatan yang tidak punya modal yang cukup menjadi terjebak ke dalam jerat kemiskinan yang sulit untuk dilepaskan. Hasil sumbangan yang diperoleh harus dikurangi untuk membayar biaya utang modal yang telah mereka gunakan dalam pagelaran hajatan, belum lagi untuk biaya persewaan alat-alat yang digunakan. Inilah yang menyebabkan tidak sesuainya antara hasil sumbangan yang diperoleh dengan besarnya beban yang harus mereka tanggung. Pendapatan dari hasil sumbangan yang diperoleh dari para tamu dan orang-orang yang menyumbang terkuras untuk membayar biaya sewa peralatan dan perlengkapan selama proses hajatan dilangsungkan.

Orang yang menggelar hajatan untuk sekarang ini kebanyakan menerapkan prinsip ekonomi yaitu dengan mengeluarkan biaya yang seringan-ringannya untuk mendapatkan hasil yang sebesar-besarnya. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya orang tua yang menggelar hajatan dalam rangka khitanan putranya. Hal ini tidak sebanding dengan angka hajatan yang digelar dalam rangka resepsi pernikahan. Prinsip bisnis ini sangat terlihat ketika ada hajatan dalam rangka ulang tahun atau piton-piton. Dengan hanya memberikan sajian yang ala kadarnya (sederhana) mereka akan mendapatkan sumbangan yang jumlahnya jauh melebihi dari sajian yang dihidangkan kepada para tamu undangan yang hadir. Penggunaan prinsip ekonomi ini akhir-akhir ini yang semakin banyak variasinya. Dari mulai menggelar acara ulang tahun, piton-piton dan pindah rumah merupakan salah satu alternatif ketika mereka sudah tidak mempunyai putra atau putri yang dapat mereka adakan acara hajatan. Prinsip mereka adalah ketika sudah mengeluarkan banyak uang untuk acara mbecek maka konsekuensinya mereka harus mendapatkan imbalan atau kembalian dari apa yang selama ini mereka berikan. Hal inilah yang memicu adanya beragam variasi dalam pagelaran hajatan.

Pergeseran yang sangat besar (niat, tata cara dan keperluan) inilah yang sekarang sudah tidak sesuai lagi dengan cita-cita para nenek moyang mereka terlebih dahulu. Dulu seseorang ketika menggelar acara hajatan dan syukuran adalah dalam rangka mempertemukan saudara, teman dan kenalan untuk berbegi kebahagiaan akan tetapi dizaman sekarang ini nilai-nilai itu telah tergantikan dengan nilai-nilai materealisme sempit.

IV. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan terhadap masyarakat di Desa Temon, Kecamatan Ngrayun, Kabupaten Ponorogo, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Ada tiga nilai yang tertangkap dari adanya aktifitas mbecek di desa Temon kecamatan Ngrayun kabupaten Ponorogo yaitu nilai gotong royong, nilai ketahanan ekonomi yang melemah dan nilai eksploitasi. Nilai gotong royong tercermin dari adanya saling bantu membantu antara warga masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dalam hajatan yang digelar oleh seseorang yang mempunyai hajat. Nilai kedua yang tertangkap adalah nilai ekonomi yang melemah. Adanya keharusan untuk melakukan aktifitas mbecek dengan frekuensi yang sangat sering memungkinkan adanya pemborosan. Dengan adanya penghasilan yang tidak sesuai antara pendapatan dan pengeluaran maka memungkinkan adanya minus pendapatan. Dengan demikian perekonomian yang ada tidak akan pernah berkembang. Nilai yang ketiga yang terungkap adalah nilai eksploitasi. Hal ini terlihat manakala ada orang miskin yang harus mengembalikan sumbangan kepada orang kaya dengan nilai yang sama dengan apa yang diberikan oleh orang kaya kepada orang miskin.

2. Tradisi mbecek sudah tidak sesuai dengan tujuan awalnya yang ingin saling membantu, mengurangi beban dan bersama-sama bersuka cita, akan tetapi sekarang berubah menjadi ajang bisnis. Walaupun demikian tradisi ini sampai saat ini masih berjalan.

3. Tradisi mbecek sebagai salah satu sistem gotong royong dan tolong menolong dalam kehidupan bermasyarakat hendaknya tidak terlalu memaksakan diri (sesuai dengan kemampuan) sehingga ketika benar-benar tidak mampu maka tidak mencari pinjaman untuk ikut mbecek sehingga tidak menimbulkan masalah yang lain (utang).

4. Tradisi mbecek sebagai tradisi yang kurang mendukung adanya perkembangan usaha maka sebaiknya orang yang akan memberikan sumbangan kepada orang lain hendaknya difikirkan terlebih dahulu (selektif). Apa manfaat dan pertimbangnya, sehingga upaya pengembangan perekonomian yang selama ini diupayakan dapat berhasil.

5. Bagi para pengembang masyarakat, usaha mikro dan kecil perubahan terhadap pola pikir yang berkaitan dengan budaya yang kurang mendukung terhadap peningkatan kesejahteraan ekonomi hendaknya menjadi perhatian tersendiri. Karena akan percuma saja jika disatu sisi sudah mengupayakan peningkatan pendapatan ekonomi keluraga akan tetapi disisi yang lain budaya yang tidak mendukung pengelolaan keuangan (boros) masih dilestarikan.


Sumber : PKM AI 2009 Sosiologi Fisip UNS diketuai Isnaini Rahmat