Kamis, 19 November 2009

Paradigma Islam, Kritik Serta Jawaban

PARADIGMA ISLAM, KRITIK SERTA JAWABAN PERJALANAN MENUJU PUNCAK PERADABAN

Maulana Kurnia Putra

Memahami Kembali Konsepsi Kebenaran dan Kemajuan

Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (Q.S 31:27). Sebuah kalimat agung yang mendeskripsikan tentang keluasan kebenaran ilmu Allah Swt..

William James, seorang tokoh pragmatis dari Amerika Serikat berkata bahwa kebenaran itu adalah suatu hal yang benar dan harus berguna, dalam hal ini adalah hal-hal praktis. Dia tidak menghalalkan ide dan rasionalitas serta wahyu.

Padahal tidak, Islam tidak demikian. Islam memandang semua yang datang dari Allah Swt. adalah kebenaran (Q.S 2:147) yang valid tanpa ada error di dalamnya. Al Qur’an dan Al Hadist, dua sumber fundamental dari semua yang telah, sedang, dan akan terjadi.

Ilmu pengetahuan pada awamnya yang selalu bertambah dan berkembang, seperti teknologi, ilmu fisika, kedokteran, biologi, dan sebagainya akan tetap dikritisi nantinya dengan penemuan-penemuan baru. Oleh karena itu, saya sebut dengan kemajuan, karena selalu berkembang dari waktu ke waktu.

Berbeda dengan kebenaran yang tidak akan bertambah ataupun berkurang. Kebenaran dalam keyakinan seorang muslim haruslah diambil dari Al Qur’an yang dibantu Hadist sehingga dapat diterima dari masa ke masa. Dari sinilah mengapa seorang muslim diwajibkan mengembalikan semua urusan kepada Al Qur’an dan Hadist.

Al Qur’an Sebagai Kumpulan Kebenaran

Al Qur’an, orang awam hanya membedakan ayat-ayat di dalamnya berupa ayat qauliyah dan qauniyah, namun, saya memberanikan diri untuk menambahkan satu jenis ayat lagi yaitu nafsiyah. Yang dari ayat-ayat nafsiyah ini muncul kebaikan-kebaikan akhlak pada diri setiap muslim. Al Qur’an itu sendiri juga mempunyai dua bagian. Bagian pertama adalah berisi konsep-konsep dan yang kedua berisi kisah-kisah dan amtsal.

Pada bagian pertama, konsep-konsep itu sendiri merujuk pada doktrin etik, aturan legal, pengertian normatif, dan aturan ibadah. Istilah-istilah di dalamnya juga mungkin diangkat dari konsep-konsep yang telah ada pada masyarakat Arab dan Timur Tengah sejak sebelum Muhammad Rasulullah Saw. dan juga konsep baru untuk penyempurnaan pada tubuh Islam itu sendiri.

Bagian kedua adalah kisah-kisah dan amtsal, disini kita diajak oleh Allah Swt. untuk tidak sekedar meyakini secara tekstual, namun dengan kontemplasi peristiwa historis dan metafor-metafor kita bisa lebih mengerti dan memahami tentang makna kehidupan melalui ayat-ayat yang bermakna trasendental.

Dengan dua bagian tersebut, maka Islam dijadikan sebagai suatu mekanisme besar tentang sistem paripurna yang sempurna utnuk mengatur peradaban mutakhir manusia (Q.S 5:3).

Ayat-ayat dalam Al Qur’an saya katakan adalah kumpulan kebenaran, karena wawasan epistemologisnya yang berumur sebelum manusia (peradaban) itu sendiri ada. Kritik dan petunjuk segala peradaban dan segala kejadian, telah terangkum di dalamnya tanpa kekurangan.

Paradigma Islam dan Ilmu Pengetahuan Berparadigma Islam

Sejarah panjang feodalisme dunia pada abad pertengahan yang dilakukan bangsa Mongol terhadap Timur Tengah yang menjadi puncak peradaban manusia dengan Islam sebagai paradima hidup, telah memusnahkan manuskrip-manuskrip ilmu pengetahuan berparadigma Islam. Jutaan manuskrip dan tulisan-tulisan ilmuwan besar hilang dan hanyut. Sebagian yang lain dibakar dalam gedung-gedung perpustakaan. Kejahatan yang sangat kejam terhadap ilmu pengetahuan.

Setelah ekpansi besar bangsa Mongol, Renaisans abad pertengahan di Eropa dengan kebebasan berpikirnya telah menjadi puncak dan tolok ukur peradaban manusia menggantikan Islam. Dan tidak heran jika semua ilmu pengetahuan berparadigma dan berorientasi dari Eropa dan Barat. Ironinya, sekuleritas menjadi konsekuensi logis dari semua itu.

Jika umat muslim memiliki Harun Yahya di luar negeri, maka di dalam negeri kita memiliki Kuntowijoyo. Jika Harun Yahya berfokus pada Sains, maka Kuntowijoyo berfokus pada sosial. Beliau berdua menerobos dan menghentak kesadaran ilmuwan-ilmuwan yang berparadigma bukan Al Qur’an dengan menawarkan melihat dan mengembalikan segala kejadian ke Al Qur’an dan Hadist. Dengan kata lain dari konteks ke teks.

Pelopor-pelopor tersebut di atas berusaha membangun paradigma baru “tapi lama”, yaitu paradigma Islam. Paradigma Islam muncul untuk meluaskan kembali ajaran Islam bukan hanya sekedar aturan ibadah semata, namun juga sebagai kacamata kita melihat dan menata dunia.

Integralisme muncul untuk menyatukannya, ilmu yang menyatukan wahyu Tuhan dan temuan pikiran manusia pun tidak akan mengucilkan Tuhan seperti yang dilakukan penganut sekuler ataupun mengucilkan manusia. Integralisme muncul sebagai upaya untuk sekaligus menyelesaikan konflik berkepanjangan antara sekuleris dan agama radikal. Integralisme muncul dengan sebuah paradigma baru dalam ilmu pengetahuan yaitu paradigma Islam.

Pemahaman Trasendental Makna Al Qur’an Sebagai Ijtihad

Seseorang yang mempelajari ilmu-ilmu alam dan orang itu beriman, seorang mahasiswa kedokteran atau fisika misalnya, mereka tidak banyak memiliki permasalahan dengan aspek muamalah dari agama, karena orientasi mereka adalah ilmu pasti. Seorang yang belajar ilmu alam akan menerima agama sebagaimana adanya, layaknya mereka menerima hukum alam. Berbeda dengan seorang yang belajar ilmu kemanusiaan dan beriman akan merasakan pengaruh yang besar terhadap realitas yang dihadapakan dengan agama secara tekstual.

Di sinilah posisi terpenting pemahaman makna trasendental Al Qur’an. Al Qur’an itu sendiri turun dengan sebab-sebab tertentu pada zaman Nabi Saw. di abad ke 7 Masehi. Namun Al Qur’an masih dapat dipakai dan diyakini sebagai pedoman hidup hingga akhir zaman. Bagaimana mungkin ayat yang turun berdasarkan sebab sosio-historis berabad-abad yang lalu masih dapat dipakai hingga akhir zaman dan diyakini kebenarannya? Suatu tanda kebesaran Allah Swt..

Al Qur’an mengajarkan kisah-kisah dan amtsal pada diri seorang muslim untuk dapat ditarik pelajaran-pelajaran moral dari peristiwa historis yang abadi-universal. Pesan-pesan moral yang menembus ruang dan waktu, yang mempunyai kekuatan dominasi melakukan perubahan besar pada level individu dan masyarakat. Cita-cita Islam sendiri di bidang kemasyarakatan adalah menciptakan masyarakat yang adil dan egaliter yang berdasar iman.

Namun, agaknya umat muslim sendiri masih belum peka terhadap perubahan-perubahan yang secara sosio-kultural. Dan struktur trasendental dari Al Qur’an itu sendiri akan sangat bermanfaat untuk menyatukan (integralisasi) ilmu pasti, ilmu kemanusiaan, dan agama. Dan dengan itu umat muslim disadarkan adanya perubahan dan menjadi jawaban untuk tetap mengikuti perubahan tanpa kehilangan Islam itu sendiri sebagai agama yang sempurna atau kaffah.

Dengan pemahaman yang berparadigma Islam untuk melihat segala sesuatunya, termasuk di dalamnya perubahan-perubahan signifikan, sebuah ijtihad yang -insya Allah- menjadi jalan keluar agar Islam menjadi puncak peradaban lagi. Diperlukan suatu adaptasi dari orientasi individu ke arah sosiologis. Memang benar bahwa orientasi pembelajaran yang individual itu diperlukan, namun aspek muamalah dilihat lebih efektif untuk menjadi ijtihad mengenalkan kembali kebenaran Islam terhadap dunia. Bentuk adaptasi yang dibutuhkan adalah berupa kesadaran dari umat muslim itu sendiri. Sejalan dengan pendapat Kuntowijoyo, terdapat enam kesadaran yang dibutuhkan, yaitu: kesadaran adanya perubahan, kesadaran kolektif, kesadaran sejarah, kesadaran adanya fakta sosial, kesadaran adanya masyarakat abstrak, dan kesadaran perlunya objektifikasi.

Konsepsi 3 M Aa’ Gym, Cambuk Intropeksi Diri

Mulai dari diri sendiri, mulai dari hal yang kecil, dan mulai dari sekarang. Konsep modal awal perubahan yang ditawarkan Aa’ Gym ini harusnya menjadi jargon pada setiap agen-agen perubahan Islami. Memaksa khalayak untuk menjadi seperti yang diimpikan, namun tidak dari dirinya sendiri perubahan itu dilakukan adalah sangat mustahil.

Saudaraku seiman, mari kita sejenak merenung dengan segala kerendahan hati. Apa yang bisa kita haturkan kepada Rabb setelah selesai sholat sebagai tanda penghambaan kita terhadap-Nya? Apakah kita hanya meminta dan terus meminta? Lantas apa makna khaliq, makhluk, serta akhlaq? Sungguh Allah Swt. tidak membutuhkan makhluknya, karena keagungan telah menjadi hanya milik-Nya.

Dengan kerendahan hati itu pula kita dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang kita renungkan tadi dengan belajar (mencari ilmu) dari kebenaran. Bukan hanya dari seorang ustadz, kyai, ataupun da’i namun juga dari seorang preman dan pelacur serta alam sekalipun kita dapat mendekat dengan sang Pencipta melalui ilmu. Dan juga surga bukan milik golongan, melainkan hanya milik Allah Swt. yang berhak menetukan siapa yang masuk dan kekal di dalamnya. Renungkanlah, Saudaraku.....

Teringat sebuah kalimat dari Bung Karno bahwa, pentingnya api Islam, bukan abunya. Karena pentingnya esensi, dan esensi Islam adalah rahmatan lil ‘alamin bukan hanya rahmatan lil muslimin. Pesan ini hanya bisa dicapai dengan ketinggian akhlaq, tidak dengan teror dan bentuk kekerasan lainnya. Hendaknya esensi ini perlu ditanamkan kembali sebagai modal untuk belajar dan berijtihad dalam menjadikan Islam menaungi peradaban manusia di bumi Allah ini. Amin.

Maulana Kurnia Putra

2 komentar:

  1. hem, secara konseptual, Kuntowijoyo memang memberikan motivasi baru dalam islamisasi ilmu. Kita sebagai mahasiswa ilmu sosial tentu harus berusaha melakukan "pembumian" ajaran-ajaran Islam dalam Al Qur'an dan Al Hadits. Sobat, yang dibutuhkan umat saat ini adalah tindakan konkret di lapangan. Mengajari anak-anak TPA di masjid di sore hari menurutku lebih berarti daripada debat-debat intelektual tanpa dasar yang sering kita lihat itu.
    Namun memang, dalam dakwah, terdapat berbagai metode, itu dapat dilihat di Fiqih Dakwah. Tetapi pada dasarnya, Rosulullah menyampaikan bahwa jika kita melihat kemungkaran, maka kita harus berusaha mengubah menggunakan tangan (kekuatan), kalau tidak mampu dengan lisan dan kalau tidak mampu lagi dengan hati. Sekurangnya dari itu, maka tidak ada iman baginya. Nah, masalah sosial itu kompleks, tergantung pada bagian apa kita akan berperan, maka metode yang digunakan juga menyesuaikan.
    Pesan AA Gym memang tepat untuk segera kita realisasikan, hal itu hal paling realistis yang dapat kita lakukan.

    BalasHapus
  2. memang hal-hal praktis itu dilihat lebih nyata untuk memulai perubahan, namun sebuah grand design untuk menentukan arah dirasa diperlukan lebih awal sebelum kita berangkat di medan perang

    BalasHapus